Minggu, 23 Maret 2025

Cinta Dalam Secangkir Kopi


Aku hampir tak mengenalinya jika dia memperlihatkan senyuman dengan kerlingan matanya yang khas. 


Aku berdiri mematung, saat seorang laki-laki di meja kasir tersenyum padaku. Lama sekali otakku mencerna kenapa aku yang baru datang dan belum memesan sesuatu sudah disambut dengan senyuman.


“Diandra?” dia menyebut namaku, aku masih bingung.


Lalu satu kerlingan mata dengan senyum lebar 3 jari dia perlihatkan.


“Ya, Tuhan. Bastian? Kamu Bastian?” Aku hampir memukul lengannya saat ia tertawa dan mengangguk.

“Perasaan dulu kamu nggak sehitam sekarang? Kamu kerja di sini?” lanjutku lalu akhirnya kami berjabat tangan.

“Iya, kamu ngapain di sini?”

“Ada kerjaan di sini, eh.. tunggu sekarang gondrong.”

“Ah, iya. Ayok ngobrol sambil minum. Kamu mau apa? Kopi?” Bastian menyodorkan selembar menu.

“Sebenarnya aku nggak tahu kopi. Tapi hari ini aku mau coba kopi. Kira-kira apa yang enak?”

“Kamu suka yang gimana?”

“Aku mau yang panas dan manis.”

“Vanilla Latte mau?”


Dia meninggalkan meja kasir lalu membawakan dua cangkir kopi ke tempatku yang sudah menunggu. Aku melihatnya berjalan dari kejauhan. Anak ini dulu adalah satu dari beberapa cowok yang paling populer waktu SMA. Tubuhnya tinggi, atletis, kulit kuning langsat, bersih, dan menawan. Khas cowok sporty idola para remaja.

Apa yang membuat Tian, panggilannya, berubah sangat drastis? Rambut cepat ikalnya sudah memanjang diikat cepol di atas kepala seperti perempuan. Mungkin kalau diurai rambutku kalah panjang darinya. Sedikit keriput di ujung mata dan dahi. Apa dia banyak berpikir? Atau bekerja terlalu keras? Kaus hitam oversize, celana panjang. Ah, dia ini mantan atlet atau seniman sih sebenarnya? Dia terlalu asing untuk dikenali.


“Silakan kopinya Bu.” dua kopi beraroma manis dia hidangkan di hadapanku.

Tian menarik satu kursi, kita duduk bersama ditemani pemandangan tebing indah pegunungan.

“Sama siapa ke sini? Suami?” tanyanya.


Aku menggeleng sembari menyeruput kopi yang terhidang.

“Kamu sendiri? Tinggal di jogja selama ini?” aku balik bertanya

“Iya, sejak kita lulus kuliah dulu, keterusan di sini sampai akhirnya menetap.”

“Karena dapet jodoh orang sini?”

“Karena kota ini nyaman.”

“Istri kamu orang mana?”


“Permisi Pak, ada tamu yang mau reservasi, katanya ingiin ketemu langsung sama Bapak.”

Seorang pelayan mendekati kami dan mencelah pembicaraan.

“Bentar yah, aku tinggal dulu.” Tian mengikuti langkah pelayan dan masuk ke dalam gedung cafe.


Aku masih heran dengan pertemuan sakti ini. Betapa waktu mampu merubah penampilan seseorang. 

Kami adalah classmate saat SMA dulu. Walaupun bukan sepasang sahabat, tapi kami bertemaan baik. Tentu saja aku mengenal baik Bastian ini karena murid kelas kami dulu hanya 30 dan kami melewati waktu sekelas bersama selama 2 tahun.

Dia adalah atlet basket kebaanggaan sekolah dulu, skill dan pesonanya begitu dielu-elukan para siswi di jamannya.


Meski dulu aku juga sempat kuliah di jogja, tapi kami tidak dekat. Hanya bertemu sesekali saat ada “IKATAN ALLUMNI SMA X” angkatan kami yang kuliah di Jogja mengadakan reuni. Atau bertemu saat dia sengaja berkunjung ke kostku bersama teman nongkrongnya. Sudah 10 tahun yang lalu kami tidak pernah bertemu lagi.


Tian kembali setelah pertemuan dengan tamunya selesai. Wajah penuh senyuman, mendekat.

“Tunggu deh, jangan bilang kalau kamu ownernya.” itu adalah pertanyaanku dejak tadi.

“Hehehe.” hanya sebuah tawa kecil sebagai jawaban.

“Wow, keren banget udah buka cafe sebesar ini.”

“Ya, ini adalah salah satu mimpiku yang jadi kenyataan. Belum terkenal nih, promosikan ke temenmu dong!”

“Aku udah ngggak punya teman di Jogja deh. Kalau nggak ketemu kamu hari ini pun udah nggak ada lagi temanku di kota ini” 


Lalu kami diam, mendadak seperti hilang topik pembicaraan. Dan dia hanya menyilangkan dua tangannya di depan dada, memandangku dengan senyum sedikit tawa. Aku salah tingkah dibuatnya.

“Suami apa kabar?”

Pertanyaannya membuat senyum di bibirku hilang. Aku menunduk.

“Kami sudah bercerai setahun yang lalu.”

“Oh sorry.”

“Nggak apa-apa. Istri kamu?

“No, aku belum menikah.”

“Kenapa? Masa cowok idola nggak punya istri? Nggak punya satu?”


Dia hanya tertawa. Katanya, cinta di hatinya sudah habis di satu hati yang tak pernah termiliki.

“Jadi, kamu memilih untuk jomblo selamanya?” tanyaku.

“Ya, menunggu Tuhan menghadapkannya untukku.”

“Ya ampun, kalau dia udah bersuami?”

“Kudengar tadi dia sudah sendiri.”


Tiba-tiba Bastian menatapku dalam-dalam. Aku mencerna baik-baik apa yang baru saja ia ucapkan.

“Seperti kopi yang menjadi teman sejati, pagi atau malam selalu bisa dinikmati. Seperti itulah dia yang ada di hati, selalu mengisi hari-hari,”

 

Mendadak aku jadi canggung. Aku ingat, dulu aku pernah dengar dari teman satu kampusku bahwa Bastian diam-diam menyukaiku. Tapi kupikir itu hanya lelucon, karena mana mungkin cowok sekeren dia menyukai cewek biasa sepertiku. Lalu pikiran itu hilang. 


Itu adalah pertemuan pertama kali setelah sekian lama. Entah kenapa setelah hari itu aku memikirkan ucapannya. Tentang hati yang sepi karena cintanya pergi. Tentang perempuan yang enggan digantikan oleh yang lain di hatinya.


5 bulan kemudian. Angin membawaku kembali ke kota itu. Aku mendapat tawaran sebagai host untuk sebuah acara seminar tentang “Pemuda dan Bisnisnya”. 

And shockly, Bastian menjadi pembicara seminar kami karena bisnis cafenya yang sukses di usia mudanya.

Aku terkekeh dalam hati, apa sebenarnya rencana Tuhan? Di saat aku terpuruk dan dilukai oleh cinta lalu berdoa meminta obatnya, Tuhan justru beberapa kali mempertemukanku dengannya.

Ah, tapi aku tak mau besar kepala. Mungkin ini hanya sebuah kebetulan. Aku saja yang terlalu jauh mikirnya.


“Ngopi yuk!” ajaknya setelah acara selesai.


Kami pergi bersama, kembali duduk di cafenya untuk mendengar cerita lain yang belum usai kami uraikan. Dua cangkir kopi di hadapan kami menjadi saksi tawa yang tersaji.

“Gimana capucino? Enak?” 

“Mm, sepertinya ada yang coba-coba bikin aku jadi pecinta kopi nih.” aku manggut-manngut setelah menyeruput capucino yang dia buat.

“Katanya, capucino itu kopi cantik, harus terlihat seindah mungkin untuk orang yang suka keindahan. Cocok diminum sama kamu.”


Aku tersedak mendengar ucapannya. Rasanya ini bukan Bastian yang ku kenal. 

“Sejak kapan kamu pinter berkata-kata?” tanya ku heran. 

 “Sejak aku kehilangan kamu satu kali, sepuluh tahun lalu.”


Jantungku berhenti berdetak sekian detik, menerima kata-kata dan tatapan mata yang tajam. Dia mengulurkan tangan.

“Perempuan yang enggan digantikan itu kamu Di, saat kamu tanya kenapa aku belum menikah. Aku menjawab menunggu Tuhan mendatangkan untukku. Dan ini jawaban dari Tuhan. Dia mendatangkan kamu untukku.”


Aku terdiam, tidak bisa berkata apapun. Hatiku sebenarnya mengatakan hal yang sama. Aku yang pernah terluka, dan seperti menemukan obatnya. 


“Jangan sampai kopimu dingin karena terlalu lama kau diamkan. Aku adalah kopi itu, apa akan kamu diamkan hingga dingin atau akan kamu nikmati sebagai temanmu setiap pagi?”


Hari ini, Bastian menyatakan perasaannya yang ternyata sudah lama ia pendam, terkubur dalam kesakitan saat dulu menyaksikanku menikah dengan orang lain. Dulu kami hilang kontak karena memang pertemanan kami tak terlalu dekat. Sekarang dia meyakinkanku tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya.


Tuhan kadang suka melucu

Dia menghidangkan Cinta yang telah lama hilang dalam secangkir Kopi.


***

Selasa, 12 November 2024

Kaki-kaki (cerita mini)


Teringat, senin itu di tahun 2000 sore hari.

Kaki-kaki kecil menjuntai di sebuah batang pohon jambu biji tak bertuan. Mereka tertawa, menggerogoti buah-buah matang yang tak disentuh orang-orang. Seakan wahana permainan yang menyenangkan, mereka berayun. Salah satunya berdiri berpegangan pada dahan yang lain lalu menekan batang yang ia injak hingga bergerak naik turun. Tak ada takutnya mereka semakin tertawa, malah. Padahal ada satu empang cukup dalam di bawah. Bahkan, daun di batang itu sudah menyentuh permukaan air yang hijau keruh.

Tiba-tiba tawa mereka terhenti. Tiga anak berlari, mengakhiri permainan tadi. Tunggang langgang terbirit-birit. Ternyata seekor ular besar sejak tadi mengamati ketiga pasang kaki-kaki kecil itu. Dia menampakkan diri tepat di sebelah kaki satu anak paling depan sendiri. Kaki-kaki itu berlari kencang, dengan satu buah jambu yang masih mereka pegang.

Kamis, 31 Oktober 2024

Dimas And The Black Cat Death (End)

Dengan mengepalkan tangan, kesepuluh anak itu menyerukan yel-yel dengan semangat menyusul peserta yang lain menuju lapangan utama.

Hari itu untuk pertama kalinya Dimas menjalani hari di perkemahan dengan hati lapang dan ikhlas tanpa ada lagi niat untuk melarikan diri. 

Hingga matahari hampir terbenam di ujung barat, Dimas masih dalam suasana hati yang menyenangkan. Ia menikmati satu persatu kegiatan dengan senang. 

Adzan berkumandang, Dimas duduk di samping tapak tendanya. Memandang jauh pemandangan sawah di depannya, menyaksikan bola jingga masuk ke peraduannya. Tubuhnya ia rebahkan sejenak untuk meluruskan tulang punggungnya yang lelah.

Kucing hitam menghampirinya lagi, bahkan duduk disamping kepalanya. Terkejut, tapi rasanya Dimas sudah lebih terbiasa dengan kedatangannya yang selalu tiba-tiba. Dia hanya melirik.

"Cing, kamu itu seperti hantu. Datang dan hilang dan tiba-tiba." Entah ide dari mana Dimas mengajak makhluk berbulu itu bicara.

"Jangan-jangan kamu memang hantu yang dikirim Tuhan buat bikin aku kapok ya? Setiap kali aku berbuat salah kamu datang menerorku. Huh, aku kapok sudah."

Lalu diam, hanya terdengar sayup-sayup adzan yang belum kelar.

"Tapi, ternyata ikut kemah begini nggak seburuk yang kukira. Menyenangkan juga. Besok aku selesaikan perkemahan ini lalu pulang ke rumah. Rasanya aku sudah merindukan mamakku."

Dimas melirik ke samping kepalanya, makhluk berbulu hitam itu masih duduk memandang luru ke depan. Ia seolah paham apa yang Dimas bicarakan. Dimas segera beranjak saat emangnya datang mengajak untuk shalat bersama, meninggalkan si hitam itu sendiri di sana.

Suara gong menggema di bumi perkemahan sebagai tanda berakhirnya kegiatan perkemahan. Semua bersorak gembira, terutama Dimas dan sembilan temannya. 

Mereka berhasil bertahan dan menyelesaikan misi dari sekolah dan menariknya di hari terakhir ini tangis bahagia mewarnai wajah mereka. Lima hari penuh tekanan, tenaga dan pikiran semua dikerahkan membuat Dimas dan teman-temannya tergerak hatinya. Mereka kembali ke rumah masing-masing dengan hati lebih lega. 

Mobil rombongan kontingen hanya berakhir di sekolah. Dimas melanjutkan perjalanan pulangnya ke rumah dengan angkutan kota. Tak ada yang menjemput, lagipula siapa? Siang-siang begini ibunya pasti sedang bekerja. 

Turun dari angkutan kota dengan membawa satu ransel besar, Dimas berjalan menyusuri gang kecil menuju rumahnya. Lelah, kantuk, dan lengket sudah kian terasa. Di tengah langkahnya, ia melihat sebuah gundukan hitam tergeletak di tengah gang itu. 

Dimas mengernyitkan dahinya, seperti mengenali benda itu. Kakinya maju perlahan, mendekat.

"kucing ini??" Dimas terperanjat melihat sosok hitam itu ternyata kucing yang beberapa hari ini selalu membuntutinya kemanapun dia pergi.

Dia mati. Tergeletak begitu saja seperti tidak ada orang yang melihatnya. Dimas heran, sangat heran. Pasalnya tempat dan posisi tubuh kucing ini sangat mirip saat beberapa waktu lalu kucing serupa lompat ke arahnya dan mati di tempat ini.

"Apa jangan-jangan ini kucing yang selama ini...." Dimas mulai merinding.

Kepalanya menengok ke kanan dan kiri, sepi sekali jalan ini. Tak ada seorangpun melintasi. Terpaksa Dimas menjunjung bangkainya lalu membawanya pulang ke rumah.

Ia mengambil selembar kain tak terpakai dari dalam rumah ya. Ia bentangkan di atas lantai lalu bangkai kucing yang belum bau itu ia letakkan di atas ya. Dengan hati-hati Dimas membungkusnya dan menguburkan di pekarangan rumah. 

Rasa heran masih juga menyelimuti, "Kenapa bangkai kucing itu baru muncul lagi setelah beberapa hari mati? Ah, benar-benar kucing hantu." Pikirnya malam ini.

Benar saja, mungkin memang kematian kucing hitam itu adalah kiriman dari Tuhan untuk Dimas agar dia bisa merubah sikap nakalnya menjadi lebih baik. Kematiannya yang misterius dan aneh, membawa banyak hal baik untuk Dimas. Buktinya, setelah beberapa hari sejak berakhirnya perkemahan itu sikap Dimas berubah. Tak lagi menentang ibunya, justru lebih rajin membantu beberapa pekerjaan rumah. 

Di sekolahpun meski masih sering terlambat, tapi sikapnya tak lagi membuat para guru naik darah. Putung rokok sudah tidak ditemukan di dalam tas atau laci meja. 

Tak ada manusia yang tak bisa berubah jika ada tekad dalam hatinya. Seperti Dimas dan beberapa kawannya yang menancapkan niat di dalam hati mereka untuk berubah menjadi pelajar yang berguna. Tidak ada yang terlambat selagi tak menyisakan kesempatan yang datang.


*SELESAI*



Kamis, 03 Oktober 2024

Dimas and The Black Cat Death (Bertekad)

 Dimas And The Black Cat Death (Bertekad)

By: tenguyakuza

Sepuluh anak paling malas dan bermasalah itu berjalan rapi tanpa semangat memasuki area perkemahan. Tentu saja, tidak ada sedikitpun senyum kegembiraan tergambar di wajah mereka. Dalam benak mereka, camp ini adalah neraka untuk satu Minggu ke depan.

Pagi terlalu pagi, dingin sekali tapi bumi perkemahan sudah mulai memanas. Seruan yel menggema di sana sini dari mulut para siswa yang berbaris menuju lapangan utama untuk bersiap senam pagi.

Matanya berat, mulutnya hanya komat kamit sekenanya. Tak pernah bangun pagi, tapi di sini ia harus bergerak di kala langit masih gelap. Tubuhnya berat, Dimas ingin sekali mundur dari barisan dan kembali ke dalam tenda. Otaknya berputar bagaimana caranya.

"Bro, aku mau ke toilet ya sebentar." Dimas menepuk salah satu teman de depannya dan dibalas sebuah anggukan.

Mengendap-endap, Dimas kembali ke tendanya tanpa diketahui siapapun. Senyumnya menyeringai, ia membuka resleting tendanya yang tertutup rapat karna semua temannya ikut kegiatan pagi.

Tubuhnya tersentak kaget saat tendanya terbuka. Gelap, tapi ada dua cahaya bulat seperti kelereng melotot ke arahnya. Lagi-lagi si kucing hitam berdiri menatapnya seperti hantu. Bulu kuduk Dimas berdiri, merinding. Dengan penuh kekesalan Dimas menutup kembali tendanya lalu berlari meninggalkan tapak perkemahan. Wajah seram kucing hitam membayangi pikirannya.

"Hay, Dek!! Ngapain kamu di situ." Seorang panitia menjumpai Dimas baru saja lari dari tendanya.

"Mm..iya..anu."

"Cepat lari ke lapangan!!" Belum sempat Dimas menjawab, orang itu sudah membentaknya untuk segera kembali ke lapangan.

Sial, Batinnya. Lagi-lagi kucing hitam menghalangi rencananya. Dan sepanjang kegiatan Dimas berpikir keras kenapa kucing itu membuntutinya sampai ke sini.

Seperti hari kedua, Dimas dan tiga temannya tak tahan dengan kegiatan yang menguras tenaga dan pikiran ini. Mereka berempat berencana kabur dari perkemahan dengan berpura-pura ijin mencuci baju di sungai belakang saat istirahat sore. Tapi nasib lain berkata, kucing hitam itu tiba-tiba muncul lagi dengan mata mengerikan seolah menghadang keempatnya. Si kucing bahkan sempat melompat ke tubuh Dimas dan membuatnya terkejut hingga jatuh berguling ke tanah. Aksi mereka pun akhirnya ketahuan oleh panitia.

Bukannya berhasil malah apes. Mereka di hukum dengan berlari mengelilingi lapangan sebanyak lima kali lalu mencuci piring di dapur panitia.

Dan beberapa kejanggalan lain yang dilakukan oleh kucing hitam membuat Dimas menyerah dan pasrah.

Pada akhirnya suka atau tidak suka Dimas dan satu regunya berusaha mengikuti rangkaian kegiatan dengan baik agar tak lagi menerima hukuman.

Malam keempat, setelah rangkain kegiatan hari itu selesai, kesepuluh anak itu duduk melingkar mendengarkan omelan dari Pak Bagyo yang mendapat laporan tentang buruknya sikap mereka selama kegiatan.

Dengan kepala tertunduk semua diam memasang telinga. Ingin rasanya berteriak, namun Pak Bagyo merasa percuma. Beliau hanya akan kehilangan banyak tenaga dengan memarahi anak-anak ini.

"Saya tidak akan memarahi kalian. Saya datang ke sini hanya memastikan kalau kalian semua sehat dan siap untuk pulang dua hari lagi. Tapi ternyata ada berita bahwa kalian tidak bisa pulang karena Kepala Sekolah menandatangi kontrak dengan Komandan perkemahan bahwa kalian akan tetap di sini sampai satu bulan ke depan."

Mendengar hal itu mereka semua mengangkat kepala dengan mata melotot.

"Tidak bisa pak!!! Kemah ini cuma satu Minggu di surat kenapa jadi satu bulan?" Danang di pemimpin regu protes.

"Lo, suka-suka bapak kepala sekolah. Kalian disuruh memilih mau sebulan di sini atau dikeluarkan dari sekolah? Karena setelah dihitung-hitung poin pelanggaran dan kenakalan kalian sudah melewati batas di catatan BK."

Krik...krik....krik..... Tak ada yang berani bersuara kecuali jangkrik yang berisik.

"Kecuali kalau kalian menunjukkan perubahan sikap yang baik selama kemah ini, mungkin Kepala sekolah akan mempertimbangkan lagi. Lha wong kalian saja sudah berpuluh kali ketahuan mau kabur, tidur di tenda saat PBB, ngerokok diam-diam. Hayo... Siapa yang salah kalau begini. Saya??" Lanjut Pak Bagyo.

"Kemah ini nggak guna pak, buang-buang waktu sama tenaga saja." Celetuk Dimas

"Oiya, memang kemah ini nggak guna dan buang-buang waktu. Ngapain kalian capek-capek ikut kan mending tidur di rumah, ngerokok, nongkrong sampai malam, kabur dari sekolah, ngabisin uanga orang tua. Nggak peduli orang tua kalian susahnya kaya apa nyekolahin kalian. Ya ngapain kalian ada di sini iya. Betul. Heh, Memangnya dunia ini butuh orang-orang malas seperti kalian?? Tidak. Kalian nggak akan jadi apa-apa kalau kalian tidak berubah."

"Cukup untuk malam ini, semua keputusan ada di tangan kalian, semakin kalian berusaha membangkang semakin lama kalian tersiksa di sini. Bubar semuanya!! Kembali ke tenda!!" Pak Bagyo beranjak dari hadapan kesepuluh muridnya itu.

Pagi hari, hari keempat. Danang menyiapkan pasukannya.

"Kita sudah diskusi tadi malam, kita harus mengikuti kegiatan ini baik-baik teman-teman biar kita bisa segera pulang. Terutama kamu Dimas, jangan nyuruh kita-kita buat kabur lagi. Aku dah kepengin tidur di rumah." Ucap Danang.

Semua sepakat untuk mengubur jauh-jauh rasa malas mereka hari ini dan berusaha menunjukkan sikap baik dalam seluruh sesi. Mereka tidak ingin satu bulan yang seperti dikatakan Pak Bagyo malam tadi terjadi.

Dengan mengepalkan tangan, kesepuluh anak itu menyerukan yel-yel dengan semangat menyusul peserta yang lain menuju lapangan utama.

*** Bersambung***


Minggu, 08 September 2024

September, Hari Kelimanya

 Retak sudah sampai ke sisi paling dalam, sulit untuk utuh kembali. Kalian tahu wujud retak bukan? Iya, meski tak pecah ia berbekas garis.

Waktu itu, memoar paling membekas di hati seumur hidupku. September hari kelimanya, langit benar-benar gelap tak bercahaya. Aku yang sedang berkutat dengan tumpukan revisi skripsi yang hampir membuat gila menjadi benar-benar gila, sungguh. Semalam aku tak tidur demi dosen yang memintaku berlari mengejar tanda tangan “ACC” nya agar bisa lulus sempurna. Bukan hanya semalam, tapi sudah entah berapa waktu sampai menjelang subuh kuhabiskan. Demi satu jilid tulisan bercover merah ini.

Siang menjelang sore hari ini, aku tak punya jadwal atau alasan untuk pergi ke kampus selain menyelesaikan revisi terakhir. Sebelum pekan depan aku sudah harus mendapatkan persetujuan semua dosen pembimbing agar bisa segera mendaftar sidang. Sudah jengah rasanya kuliah, otak tak lagi mampu memikirkan “argumentasi-argumentasi teori”. 

Rasa kantukku tak terkira. Aku merebahkan diri di ruang tengah berdampingan dengan mesin print yang berderit menjalankan tugasnya mengeluarkan kertas-kertas putih bertinta. Sembari menantinya berhenti, mataku terpejam. Nikmat sekali. Sampai akhirnya semua kenikmatan itu direnggut paksa oleh teriakan delapan oktaf seorang wanita berusia 45 tahun dengan suaminya. 

Mereka masuk dengan mendorong keras pintu utama rumah hingga terbentur kusen jendela yang lalu menimbulkan bunyi “BRAK”!!!

Kedua tua itu saling teriak, bernada keras hingga leher berurat. Mendebatkan hal yang begitu memekakkan telinga. Aku tetap terpejam, cuek. Kubiarkan mereka berisik di depanku. Kalau dihitung-hitung ini sudah ke seratus kali mereka berkelahi. Wajar aku tak peduli. Teramat sering terjadi, saling memaksakan ego diri.

Sudah sejak aku menjadi siswa seragam putih abu-abu, keluarga ini retak. Hampir tak ada senyum cinta yang ibu buat setiap hari. Alasannya? Apalagi kalau bukan ekonomi. Yang satu punya penghasilan pas-pasan, yang satu lagi tidak sabaran. Tapi entah apa itu alasan utama mereka, atau ada hal lain. Aku tidak tahu. Yang aku tahu bapak sudah berusaha menjalankan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga meski hasilnya kurang sempurna, atau bahkan tak pernah sempurna di m ata ibuku yang selalu menuntut untuk mendapatkan lebih. Yang aku tahu ibuku sudah ikut membantu mencari penghasilan tambahan untuk anaknya ini kuliah. Katanya, “Walaupun kita bukan orang kaya, sekolah itu penting biar nggak kayak bapak ibumu.” 

Itulah kenapa aku harus cepat-cepat lulus. Biaya kuliah tak murah, semakin lama aku di kampus itu semakin banyak juga cucuran keringat darah mereka.

Aku masih terpejam, walau dada sudah mulai gemetar. Lalu, ada hal yang menggelegar terdengar.

“Oke, aku turuti maumu, kita bercerai!”

Kata-kata yang keluar dari mulut Bapak membuatku membelalak. Tubuhku seperti ditumpahkan dari ranjang tinggi lalu terpelanting jatuh. Aku mematung diantara kerasnya mereka.

“Apa maksudnya?” suaraku lirih tak bertenaga.

Barulah mereka menyadari keberadaan anak semata wayang ini sudah mendengar semuanya. Mataku berkaca-kaca dan kaca itu pecah hingga menyayat hati, mengiris sanubari. Pedih, sakit, aku hampir henti nafas. Jantungku pun enggan berdetak. Kutanya kembali apa maksud ucapan mereka? 

Bapak menatap ibu lekat. Ibu terdiam, menghampiri putrinya yang sudah mengepal kuat.

“Iya nak, Ibu dan Bapak ingin memutuskan berpisah. Kita sudah bermasalah sekian lamanya, tak ada jalan tengahnya. Ini yang terbaik .”

Dunia seakan runtuh, lebih luluh lantak dari sekedar gempa bumi 9,8 magnitudo. Kaca yang retak, pecah juga. Pecahan kaca itu menancap amat dalam di relung hati. Aku ingin berlari pergi.

Marah dan kecewa, ibu menatapku lama. Mencoba menyentuh puncak kepala dan mungkin hendak mengusap rambut hitam putrinya, tapi aku segera menampik tangan itu. Kuraup semua kertas dari mesin pencetak lalu terhambur di depan wajah tegang mereka. Berantakan. Ya, seperti keluarga ini. Berantakan semua.

Kutinggalkan mereka dalam kepanikan. Langkahku pergi, menerobos rintik gerimis yang datangnya keroyokan.

Kuingat sekali bulan September tahun lalu itu. Bulan di mana petir menyambar atap rumahku dan merenggut bahagia menjadi nestapa. Tidak ada lagi tiga orang dalam rumah yang makan bersama satu meja. Kini tinggal dua perempuan saja. Laki-laki bernama Bapak itu mengalah pergi ke rumahnya yang lain. Rumah sebenarnya, dan ia masih tinggal sendiri sampai saat ini.

Mereka tak pernah bercerita padaku, hal apa yang membuat putusnya cinta di antara keduanya. Benarkah hanya karena “uang” semata?? Tidakkah ada rindu yang mampu menyatu? 

Semua cepat sekali berlalu. Kini, aku sudah tidak apa-apa. Sudah wisuda dan bekerja meski saat kelulusanku dulu mereka tak bisa duduk berdua. Tapi aku mampu memberi sedikit senyum indah merekah saat mempersembahkan selempang sarjana. Saat berfoto mereka pun tetap ada, satu di kanan satu di kiri lalu pergi sendiri-sendiri lagi. 

Rupanya, perpisahan ini jalan terbaik ketimbang setiap hari menabur luka, mempertahankan retak yang bisa hancur kapan saja dan melukai semuanya. Sudah tak ada lagi bentakan pagi hari, dan tangisan di malam hari. Kulihat pula senyum sudah tumbuh lagi di wajah keduanya.

***


*Cerpen untuk program Nuram(Nulis Rame2) terbitan ellunar publisher.

Kamis, 29 Agustus 2024

Hantu Pohon Cangkring

 Apa kalian tahu pohon “Cangkring”? Ada mitos tentang pohon cangkring di desaku. Katanya pohon ini adalah rumahnya para hantu. Orang-orang percaya dengan cerita ini karena banyak kisah nyata yang semakin memperkuat mitos yang beredar dari zaman dulu. 

Suatu hari bapakku yang hobi sekali memancing ini pergi ke sungai dekat rumah. Di sana ada beberapa pohon cangkring besar yang kokoh berdiri dan nyaman untuk berteduh di bawahnya. Hingga hampir tengah hari bapak duduk di sana. Semula Bapak ditemani dua orang lainnya, tapi perlahan mereka pergi satu persatu karena sudah azan.

Tinggallah bapak sendiri. Lalu ada seorang duduk di sampingnya, memancing seperti Bapak. Bapak menyapa, “Siangan pak? Saya sudah mau pulang.”

Orang itu mengangguk dan tersenyum. Merasa aneh, Bapak memutuskan menyudahi. Akhirnya bapak berdiri, mengemasi kailnya.

Orang itu tersenyum lagi dan hanya mengangguk. Lalu Bapak melangkah pergi. Baru dua langkah kakinya bergerak, Bapak membalikkan badan. Orang itu menghilang dengan semua peralatan mancingnya tadi. Tapi kemana?? Sedangkan Bapak baru saja berdiri. Otak Bapak segera mencerna. Bulu kuduknya berdiri dan langsung saja Bapak berlari. Di rumah Bapak bercerita pada ibu tentang apa yang ia alami. Ibu hanya tertawa.

“Makanya pak, kalau sudah dengar azan itu pulang. Rasain kan jadi ditemenin sama setan. Hahahaha”

***

Cerpen untuk Nuram @ellunarpublishing

Dimas and The Black Cat Death (Coklat Tua Coklat Muda)

 Secarik kertas putih tergenggam di tangannya, Dimas menatap kesal. Mengikuti kemah adalah hal paling menyebalkan baginya. Sewaktu pemilihan ekstrakurikuler saja dia berusaha menghindar dari Pramuka agar tidak ikut yang namanya kemah, eh tapi kali ini justru dipaksa berangkat. Dia meremas kertas pemberitahuan yang ditujukan untuk orang tuanya itu lalu memasukkan ke dalam tas. 

Di warung pojok depan sekolahnya sudah ada beberapa temannya yang menunggu. Dimas duduk di tengah mereka menerima tawaran sebatang rokok. Mereka ini kalau ketahuan merokok di area sekolah sudah tamat riwayat. Beberapa dari mereka juga ikut mendapat hukuman pagi tadi. Mereka membahas rencana untuk kabur dari perkemahan nanti.

Di tengah asyik menghisap rokok yang sudah tinggal setengah di tangannya, tiba-tiba kucing hitam itu muncul di depan Dimas. Entah dari mana asalnya, tapi Dimas cukup terkejut. Si kucing tampak menampakkan matanya yang mengerikan seolah sedang melotot padanya. Bulu kuduknya bergidik, Dimas membuang putung rokok lalu menginjaknya. Ia segera pergi dari gerombolan itu dan dari tatapan sang kucing.

Sampai di rumah, Dimas langsung masuk kamar tanpa berganti seragam. Ia menjatuhkan diri, tertelungkup mencium bantal. Matanya terpejam dan mendengkur. Beberapa kali teriakan dari luar kamarnya terdengar. Ibu meneriakinya karena baru saja dapat laporan dari tetangga bahwa dia punya hutang rokok sekian ribu di warung. Geram sekali hati ibu. Bukan kali ini saja Dimas membuatnya beristighfar seribu kali sehari karena kelakuannya yang membuat ibu jadi bahan gunjingan tetangga.

Semester lalu ibu mendapat panggilan setelah Dimas terlibat tawuran dengan sekolah lain. Ada pula Dimas tak membayar uang buku selama satu semester dan beberapa kenakalan lainnya. 

Kali ini ibu mendobrak kamarnya dengan membawa sapu ijuk. Ibu memukul betisnya hingga Dimas tersentak kaget. Wajahnya berubah kesal mendapati ibu sudah mengeluarkan suara 8 oktafnya.

"Ya Allah Dimaaaaaassss, ibu harus ngomong pake bahasa apa lagi biar kamu nurut hah!!" Satu sabetan mendarat membuatnya mengaduh, "Ibu sumpahin kamu jadi tentara besok, biar didik lebih keras dari didikan ibu!!!!!" Saking marahnya, ibu sampai bingung harus mengucapkan doa yang bagaimana lagi.

Dimas hanya menggaruk kepala, tak peduli kepala ibu ya sudah panas berasap. Ibu tak tahu padahal hari ini sumpahnya hampir menjadi kenyataan karena sebentar lagi anaknya benar-benar akan dididik oleh para tentara. Namun sepertinya Dimas tak mau menunjukkan surat pemberitahuan dari sekolah tadi karena memang dia berencana untuk melarikan diri.

Hingga esok hari, saat Dimas membuka mata, sebuah ransel besar sudah siap di atas kursi ruang tamu lengkap dengan semua perlengkapan untuk berkemah. Dimas heran dan terkejut mengapa pagi-pagi ibu sudah tahu tentang perkemahan itu.

Senyum tersimpul di bibir ibu dengan membawa sepiring nasi berlauk telor ceplok dan segelas teh hangat. Ia letakkan di meja, satu kotak bekal tak ketinggalan bertengger di sampingnya. Dimas semakin bingung.

"Kenapa?? Kaget kamu ibu sudah menyiapkan semuanya??" Ibu tersenyum menang.

"Ibu tahu dari mana?" Dimas bertanya 

"Kamu tidur seperti kebo. Sebenarnya saat kamu masih di sekolah ibu sudah ditelepon pak guru katanya kamu ditugaskan ikut kemah bela negara. Ibu sengaja tidak tanya kamu buat menguji apa kamu mau jujur atau tidak. Ternyata kamu mau melarikan diri yah.!!!" Ibu berhasil menjewer telinga anak semata wayangnya.

"Ini surat ini kamu rusak dan tidak kamu tunjukkan ke ibu. Kamu kira ibu tidak tahu?? Sekarang ibu sudah siapkan semuanya dan kamu harus berangkat!!!" Ibu menggulung lengan dasternya.

"Nggak. Dimas nggak mau." Anak itu duduk dengan wajah kesal di atas sofa.

Lagi-lagi, mendadak seekor kucing hitam lompat ke arahnya dan mematung di atas meja tepat di depan Dimas. Mata mengerikan kucing hitam itu mendelik.

"Ha!!!!! Astaghfirullah, kaget!!! Kucing dari mana datangnya?!" Dimas melompat terkejut. 

Mereka saling bertatapan. Ibu tertawa melihat adegan itu.

"Itu pertanda kucing itu ada di pihak ibu. Sudah sekarang mandi dan berangkat. Ayok!!" Ibu menarik telinganya agar beranjak masuk ke dalam kamar mandi.

"Awas kamu ya kalau coba-coba kabur dari kegiatan ini. Ibu masukin kamu ke pesantren sekalian!!!" Teriak ibu dari luar kamar mandi.

***

Seragam coklat tua coklat muda berbaris rapi di Aula. Baru kali ini setelah 2 tahun menyekolahkan anaknya di SMA ibu tersenyum bangga melihat anaknya gagah menggunakan seragam yang selama ini hanya ia pakai di hari Jumat saja. 

Datang sebagai tamu undangan, ibu bertepuk tangan lalu mengusap titik air mata yang lolos di pipinya setelah kesepuluh anak laki-laki itu dikukuhkan sebagai peserta Perkemahan Bela Negara.

Masih dengan wajah kesal, Dimas Salim meminta ijin pada sang ibu untuk berangkat bersama rombongan menggunakan truk yang sudah parkir di depan sekolah. Tentu saja tak ikhlas begitu saja, Dimas berjalan malas naik ke atas truk. Masih ada rencana yang akan ia dan teman-temannya lakukan saat kemah nanti. 

Baru saja tersenyum karena mengingat rencana nakalnya, kucing hitam mengerikan muncul lagi di depannya. Seperti biasa, wajahnya seram, melotot dengan mata kuning bersinar. 

Kali ini Dimas tidak takut. Dia mendekati si kucing berniat ingin menangkapnya karena kesal. Mengapa setiap kali Dimas berniat atau melakukan hal-hal buruk kucing ini selalu muncul di hadapannya? Dengan sigap Dimas melompat menerkam kucing. 

Buk!!! Sial. Bukannya tertangkap, Dimas justru tersungkur, membuat teman-teman yang melihatnya tertawa. Kucing hitam itu berhasil pergi menghilang begitu saja. Sepanjang jalan Dimas berpikir keras. Makhluk apa sebenarnya kucing hitam itu?? 

"Jangan-jangan dia siluman." Gumamnya dalam hati.

Tak berapa lama, rombongan sampai di bumi perkemahan. Sudah banyak berdiri tenda-tenda dari sekolah lain. Laki-laki perempuan, camp mereka terpisah. 

Pak Bagyo, selaku bina damping, membariskan mereka untuk briefing apa yang akan kesepuluh anak itu lakukan sesampainya di kapling tenda.

"Danar!! Kamu sebagai pemimpin harus benar-benar memimpin anggota kamu selama kegiatan. Setelah ini kalian dirikan tenda sesuai lokasi yang sudah ditentukan. Mulailah mengikuti jadwal yang sudah disusun. Ingat, kalau sampai salah satu dari kalian ada yang mencoba melarikan diri atau absen dari kegiatan, kami tidak segan-segan menambah porsi hukuman kalian. Mengerti?!!" Pak Bagyo memberikan satu bendel buku panduan kepada Danar, si pemimpin pasukan.

Sepuluh anak paling malas dan bermasalah itu berjalan rapi tanpa semangat memasuki area perkemahan. Tentu saja, tidak ada sedikitpun senyum kegembiraan tergambar di wajah mereka. Dalam benak mereka, camp ini adalah neraka untuk satu Minggu ke depan.

Apakah mereka akan bertahan dan menurut??


*Bersambung

Cinta Dalam Secangkir Kopi

Aku hampir tak mengenalinya jika dia memperlihatkan senyuman dengan kerlingan matanya yang khas.  Aku berdiri mematung, saat seorang laki-la...