Kamis, 29 Agustus 2024

Dimas and The Black Cat Death (Coklat Tua Coklat Muda)

 Secarik kertas putih tergenggam di tangannya, Dimas menatap kesal. Mengikuti kemah adalah hal paling menyebalkan baginya. Sewaktu pemilihan ekstrakurikuler saja dia berusaha menghindar dari Pramuka agar tidak ikut yang namanya kemah, eh tapi kali ini justru dipaksa berangkat. Dia meremas kertas pemberitahuan yang ditujukan untuk orang tuanya itu lalu memasukkan ke dalam tas. 

Di warung pojok depan sekolahnya sudah ada beberapa temannya yang menunggu. Dimas duduk di tengah mereka menerima tawaran sebatang rokok. Mereka ini kalau ketahuan merokok di area sekolah sudah tamat riwayat. Beberapa dari mereka juga ikut mendapat hukuman pagi tadi. Mereka membahas rencana untuk kabur dari perkemahan nanti.

Di tengah asyik menghisap rokok yang sudah tinggal setengah di tangannya, tiba-tiba kucing hitam itu muncul di depan Dimas. Entah dari mana asalnya, tapi Dimas cukup terkejut. Si kucing tampak menampakkan matanya yang mengerikan seolah sedang melotot padanya. Bulu kuduknya bergidik, Dimas membuang putung rokok lalu menginjaknya. Ia segera pergi dari gerombolan itu dan dari tatapan sang kucing.

Sampai di rumah, Dimas langsung masuk kamar tanpa berganti seragam. Ia menjatuhkan diri, tertelungkup mencium bantal. Matanya terpejam dan mendengkur. Beberapa kali teriakan dari luar kamarnya terdengar. Ibu meneriakinya karena baru saja dapat laporan dari tetangga bahwa dia punya hutang rokok sekian ribu di warung. Geram sekali hati ibu. Bukan kali ini saja Dimas membuatnya beristighfar seribu kali sehari karena kelakuannya yang membuat ibu jadi bahan gunjingan tetangga.

Semester lalu ibu mendapat panggilan setelah Dimas terlibat tawuran dengan sekolah lain. Ada pula Dimas tak membayar uang buku selama satu semester dan beberapa kenakalan lainnya. 

Kali ini ibu mendobrak kamarnya dengan membawa sapu ijuk. Ibu memukul betisnya hingga Dimas tersentak kaget. Wajahnya berubah kesal mendapati ibu sudah mengeluarkan suara 8 oktafnya.

"Ya Allah Dimaaaaaassss, ibu harus ngomong pake bahasa apa lagi biar kamu nurut hah!!" Satu sabetan mendarat membuatnya mengaduh, "Ibu sumpahin kamu jadi tentara besok, biar didik lebih keras dari didikan ibu!!!!!" Saking marahnya, ibu sampai bingung harus mengucapkan doa yang bagaimana lagi.

Dimas hanya menggaruk kepala, tak peduli kepala ibu ya sudah panas berasap. Ibu tak tahu padahal hari ini sumpahnya hampir menjadi kenyataan karena sebentar lagi anaknya benar-benar akan dididik oleh para tentara. Namun sepertinya Dimas tak mau menunjukkan surat pemberitahuan dari sekolah tadi karena memang dia berencana untuk melarikan diri.

Hingga esok hari, saat Dimas membuka mata, sebuah ransel besar sudah siap di atas kursi ruang tamu lengkap dengan semua perlengkapan untuk berkemah. Dimas heran dan terkejut mengapa pagi-pagi ibu sudah tahu tentang perkemahan itu.

Senyum tersimpul di bibir ibu dengan membawa sepiring nasi berlauk telor ceplok dan segelas teh hangat. Ia letakkan di meja, satu kotak bekal tak ketinggalan bertengger di sampingnya. Dimas semakin bingung.

"Kenapa?? Kaget kamu ibu sudah menyiapkan semuanya??" Ibu tersenyum menang.

"Ibu tahu dari mana?" Dimas bertanya 

"Kamu tidur seperti kebo. Sebenarnya saat kamu masih di sekolah ibu sudah ditelepon pak guru katanya kamu ditugaskan ikut kemah bela negara. Ibu sengaja tidak tanya kamu buat menguji apa kamu mau jujur atau tidak. Ternyata kamu mau melarikan diri yah.!!!" Ibu berhasil menjewer telinga anak semata wayangnya.

"Ini surat ini kamu rusak dan tidak kamu tunjukkan ke ibu. Kamu kira ibu tidak tahu?? Sekarang ibu sudah siapkan semuanya dan kamu harus berangkat!!!" Ibu menggulung lengan dasternya.

"Nggak. Dimas nggak mau." Anak itu duduk dengan wajah kesal di atas sofa.

Lagi-lagi, mendadak seekor kucing hitam lompat ke arahnya dan mematung di atas meja tepat di depan Dimas. Mata mengerikan kucing hitam itu mendelik.

"Ha!!!!! Astaghfirullah, kaget!!! Kucing dari mana datangnya?!" Dimas melompat terkejut. 

Mereka saling bertatapan. Ibu tertawa melihat adegan itu.

"Itu pertanda kucing itu ada di pihak ibu. Sudah sekarang mandi dan berangkat. Ayok!!" Ibu menarik telinganya agar beranjak masuk ke dalam kamar mandi.

"Awas kamu ya kalau coba-coba kabur dari kegiatan ini. Ibu masukin kamu ke pesantren sekalian!!!" Teriak ibu dari luar kamar mandi.

***

Seragam coklat tua coklat muda berbaris rapi di Aula. Baru kali ini setelah 2 tahun menyekolahkan anaknya di SMA ibu tersenyum bangga melihat anaknya gagah menggunakan seragam yang selama ini hanya ia pakai di hari Jumat saja. 

Datang sebagai tamu undangan, ibu bertepuk tangan lalu mengusap titik air mata yang lolos di pipinya setelah kesepuluh anak laki-laki itu dikukuhkan sebagai peserta Perkemahan Bela Negara.

Masih dengan wajah kesal, Dimas Salim meminta ijin pada sang ibu untuk berangkat bersama rombongan menggunakan truk yang sudah parkir di depan sekolah. Tentu saja tak ikhlas begitu saja, Dimas berjalan malas naik ke atas truk. Masih ada rencana yang akan ia dan teman-temannya lakukan saat kemah nanti. 

Baru saja tersenyum karena mengingat rencana nakalnya, kucing hitam mengerikan muncul lagi di depannya. Seperti biasa, wajahnya seram, melotot dengan mata kuning bersinar. 

Kali ini Dimas tidak takut. Dia mendekati si kucing berniat ingin menangkapnya karena kesal. Mengapa setiap kali Dimas berniat atau melakukan hal-hal buruk kucing ini selalu muncul di hadapannya? Dengan sigap Dimas melompat menerkam kucing. 

Buk!!! Sial. Bukannya tertangkap, Dimas justru tersungkur, membuat teman-teman yang melihatnya tertawa. Kucing hitam itu berhasil pergi menghilang begitu saja. Sepanjang jalan Dimas berpikir keras. Makhluk apa sebenarnya kucing hitam itu?? 

"Jangan-jangan dia siluman." Gumamnya dalam hati.

Tak berapa lama, rombongan sampai di bumi perkemahan. Sudah banyak berdiri tenda-tenda dari sekolah lain. Laki-laki perempuan, camp mereka terpisah. 

Pak Bagyo, selaku bina damping, membariskan mereka untuk briefing apa yang akan kesepuluh anak itu lakukan sesampainya di kapling tenda.

"Danar!! Kamu sebagai pemimpin harus benar-benar memimpin anggota kamu selama kegiatan. Setelah ini kalian dirikan tenda sesuai lokasi yang sudah ditentukan. Mulailah mengikuti jadwal yang sudah disusun. Ingat, kalau sampai salah satu dari kalian ada yang mencoba melarikan diri atau absen dari kegiatan, kami tidak segan-segan menambah porsi hukuman kalian. Mengerti?!!" Pak Bagyo memberikan satu bendel buku panduan kepada Danar, si pemimpin pasukan.

Sepuluh anak paling malas dan bermasalah itu berjalan rapi tanpa semangat memasuki area perkemahan. Tentu saja, tidak ada sedikitpun senyum kegembiraan tergambar di wajah mereka. Dalam benak mereka, camp ini adalah neraka untuk satu Minggu ke depan.

Apakah mereka akan bertahan dan menurut??


*Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cinta Dalam Secangkir Kopi

Aku hampir tak mengenalinya jika dia memperlihatkan senyuman dengan kerlingan matanya yang khas.  Aku berdiri mematung, saat seorang laki-la...