Kamis, 31 Oktober 2024

Dimas And The Black Cat Death (End)

Dengan mengepalkan tangan, kesepuluh anak itu menyerukan yel-yel dengan semangat menyusul peserta yang lain menuju lapangan utama.

Hari itu untuk pertama kalinya Dimas menjalani hari di perkemahan dengan hati lapang dan ikhlas tanpa ada lagi niat untuk melarikan diri. 

Hingga matahari hampir terbenam di ujung barat, Dimas masih dalam suasana hati yang menyenangkan. Ia menikmati satu persatu kegiatan dengan senang. 

Adzan berkumandang, Dimas duduk di samping tapak tendanya. Memandang jauh pemandangan sawah di depannya, menyaksikan bola jingga masuk ke peraduannya. Tubuhnya ia rebahkan sejenak untuk meluruskan tulang punggungnya yang lelah.

Kucing hitam menghampirinya lagi, bahkan duduk disamping kepalanya. Terkejut, tapi rasanya Dimas sudah lebih terbiasa dengan kedatangannya yang selalu tiba-tiba. Dia hanya melirik.

"Cing, kamu itu seperti hantu. Datang dan hilang dan tiba-tiba." Entah ide dari mana Dimas mengajak makhluk berbulu itu bicara.

"Jangan-jangan kamu memang hantu yang dikirim Tuhan buat bikin aku kapok ya? Setiap kali aku berbuat salah kamu datang menerorku. Huh, aku kapok sudah."

Lalu diam, hanya terdengar sayup-sayup adzan yang belum kelar.

"Tapi, ternyata ikut kemah begini nggak seburuk yang kukira. Menyenangkan juga. Besok aku selesaikan perkemahan ini lalu pulang ke rumah. Rasanya aku sudah merindukan mamakku."

Dimas melirik ke samping kepalanya, makhluk berbulu hitam itu masih duduk memandang luru ke depan. Ia seolah paham apa yang Dimas bicarakan. Dimas segera beranjak saat emangnya datang mengajak untuk shalat bersama, meninggalkan si hitam itu sendiri di sana.

Suara gong menggema di bumi perkemahan sebagai tanda berakhirnya kegiatan perkemahan. Semua bersorak gembira, terutama Dimas dan sembilan temannya. 

Mereka berhasil bertahan dan menyelesaikan misi dari sekolah dan menariknya di hari terakhir ini tangis bahagia mewarnai wajah mereka. Lima hari penuh tekanan, tenaga dan pikiran semua dikerahkan membuat Dimas dan teman-temannya tergerak hatinya. Mereka kembali ke rumah masing-masing dengan hati lebih lega. 

Mobil rombongan kontingen hanya berakhir di sekolah. Dimas melanjutkan perjalanan pulangnya ke rumah dengan angkutan kota. Tak ada yang menjemput, lagipula siapa? Siang-siang begini ibunya pasti sedang bekerja. 

Turun dari angkutan kota dengan membawa satu ransel besar, Dimas berjalan menyusuri gang kecil menuju rumahnya. Lelah, kantuk, dan lengket sudah kian terasa. Di tengah langkahnya, ia melihat sebuah gundukan hitam tergeletak di tengah gang itu. 

Dimas mengernyitkan dahinya, seperti mengenali benda itu. Kakinya maju perlahan, mendekat.

"kucing ini??" Dimas terperanjat melihat sosok hitam itu ternyata kucing yang beberapa hari ini selalu membuntutinya kemanapun dia pergi.

Dia mati. Tergeletak begitu saja seperti tidak ada orang yang melihatnya. Dimas heran, sangat heran. Pasalnya tempat dan posisi tubuh kucing ini sangat mirip saat beberapa waktu lalu kucing serupa lompat ke arahnya dan mati di tempat ini.

"Apa jangan-jangan ini kucing yang selama ini...." Dimas mulai merinding.

Kepalanya menengok ke kanan dan kiri, sepi sekali jalan ini. Tak ada seorangpun melintasi. Terpaksa Dimas menjunjung bangkainya lalu membawanya pulang ke rumah.

Ia mengambil selembar kain tak terpakai dari dalam rumah ya. Ia bentangkan di atas lantai lalu bangkai kucing yang belum bau itu ia letakkan di atas ya. Dengan hati-hati Dimas membungkusnya dan menguburkan di pekarangan rumah. 

Rasa heran masih juga menyelimuti, "Kenapa bangkai kucing itu baru muncul lagi setelah beberapa hari mati? Ah, benar-benar kucing hantu." Pikirnya malam ini.

Benar saja, mungkin memang kematian kucing hitam itu adalah kiriman dari Tuhan untuk Dimas agar dia bisa merubah sikap nakalnya menjadi lebih baik. Kematiannya yang misterius dan aneh, membawa banyak hal baik untuk Dimas. Buktinya, setelah beberapa hari sejak berakhirnya perkemahan itu sikap Dimas berubah. Tak lagi menentang ibunya, justru lebih rajin membantu beberapa pekerjaan rumah. 

Di sekolahpun meski masih sering terlambat, tapi sikapnya tak lagi membuat para guru naik darah. Putung rokok sudah tidak ditemukan di dalam tas atau laci meja. 

Tak ada manusia yang tak bisa berubah jika ada tekad dalam hatinya. Seperti Dimas dan beberapa kawannya yang menancapkan niat di dalam hati mereka untuk berubah menjadi pelajar yang berguna. Tidak ada yang terlambat selagi tak menyisakan kesempatan yang datang.


*SELESAI*



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cinta Dalam Secangkir Kopi

Aku hampir tak mengenalinya jika dia memperlihatkan senyuman dengan kerlingan matanya yang khas.  Aku berdiri mematung, saat seorang laki-la...