Minggu, 23 Maret 2025

Cinta Dalam Secangkir Kopi


Aku hampir tak mengenalinya jika dia memperlihatkan senyuman dengan kerlingan matanya yang khas. 


Aku berdiri mematung, saat seorang laki-laki di meja kasir tersenyum padaku. Lama sekali otakku mencerna kenapa aku yang baru datang dan belum memesan sesuatu sudah disambut dengan senyuman.


“Diandra?” dia menyebut namaku, aku masih bingung.


Lalu satu kerlingan mata dengan senyum lebar 3 jari dia perlihatkan.


“Ya, Tuhan. Bastian? Kamu Bastian?” Aku hampir memukul lengannya saat ia tertawa dan mengangguk.

“Perasaan dulu kamu nggak sehitam sekarang? Kamu kerja di sini?” lanjutku lalu akhirnya kami berjabat tangan.

“Iya, kamu ngapain di sini?”

“Ada kerjaan di sini, eh.. tunggu sekarang gondrong.”

“Ah, iya. Ayok ngobrol sambil minum. Kamu mau apa? Kopi?” Bastian menyodorkan selembar menu.

“Sebenarnya aku nggak tahu kopi. Tapi hari ini aku mau coba kopi. Kira-kira apa yang enak?”

“Kamu suka yang gimana?”

“Aku mau yang panas dan manis.”

“Vanilla Latte mau?”


Dia meninggalkan meja kasir lalu membawakan dua cangkir kopi ke tempatku yang sudah menunggu. Aku melihatnya berjalan dari kejauhan. Anak ini dulu adalah satu dari beberapa cowok yang paling populer waktu SMA. Tubuhnya tinggi, atletis, kulit kuning langsat, bersih, dan menawan. Khas cowok sporty idola para remaja.

Apa yang membuat Tian, panggilannya, berubah sangat drastis? Rambut cepat ikalnya sudah memanjang diikat cepol di atas kepala seperti perempuan. Mungkin kalau diurai rambutku kalah panjang darinya. Sedikit keriput di ujung mata dan dahi. Apa dia banyak berpikir? Atau bekerja terlalu keras? Kaus hitam oversize, celana panjang. Ah, dia ini mantan atlet atau seniman sih sebenarnya? Dia terlalu asing untuk dikenali.


“Silakan kopinya Bu.” dua kopi beraroma manis dia hidangkan di hadapanku.

Tian menarik satu kursi, kita duduk bersama ditemani pemandangan tebing indah pegunungan.

“Sama siapa ke sini? Suami?” tanyanya.


Aku menggeleng sembari menyeruput kopi yang terhidang.

“Kamu sendiri? Tinggal di jogja selama ini?” aku balik bertanya

“Iya, sejak kita lulus kuliah dulu, keterusan di sini sampai akhirnya menetap.”

“Karena dapet jodoh orang sini?”

“Karena kota ini nyaman.”

“Istri kamu orang mana?”


“Permisi Pak, ada tamu yang mau reservasi, katanya ingiin ketemu langsung sama Bapak.”

Seorang pelayan mendekati kami dan mencelah pembicaraan.

“Bentar yah, aku tinggal dulu.” Tian mengikuti langkah pelayan dan masuk ke dalam gedung cafe.


Aku masih heran dengan pertemuan sakti ini. Betapa waktu mampu merubah penampilan seseorang. 

Kami adalah classmate saat SMA dulu. Walaupun bukan sepasang sahabat, tapi kami bertemaan baik. Tentu saja aku mengenal baik Bastian ini karena murid kelas kami dulu hanya 30 dan kami melewati waktu sekelas bersama selama 2 tahun.

Dia adalah atlet basket kebaanggaan sekolah dulu, skill dan pesonanya begitu dielu-elukan para siswi di jamannya.


Meski dulu aku juga sempat kuliah di jogja, tapi kami tidak dekat. Hanya bertemu sesekali saat ada “IKATAN ALLUMNI SMA X” angkatan kami yang kuliah di Jogja mengadakan reuni. Atau bertemu saat dia sengaja berkunjung ke kostku bersama teman nongkrongnya. Sudah 10 tahun yang lalu kami tidak pernah bertemu lagi.


Tian kembali setelah pertemuan dengan tamunya selesai. Wajah penuh senyuman, mendekat.

“Tunggu deh, jangan bilang kalau kamu ownernya.” itu adalah pertanyaanku dejak tadi.

“Hehehe.” hanya sebuah tawa kecil sebagai jawaban.

“Wow, keren banget udah buka cafe sebesar ini.”

“Ya, ini adalah salah satu mimpiku yang jadi kenyataan. Belum terkenal nih, promosikan ke temenmu dong!”

“Aku udah ngggak punya teman di Jogja deh. Kalau nggak ketemu kamu hari ini pun udah nggak ada lagi temanku di kota ini” 


Lalu kami diam, mendadak seperti hilang topik pembicaraan. Dan dia hanya menyilangkan dua tangannya di depan dada, memandangku dengan senyum sedikit tawa. Aku salah tingkah dibuatnya.

“Suami apa kabar?”

Pertanyaannya membuat senyum di bibirku hilang. Aku menunduk.

“Kami sudah bercerai setahun yang lalu.”

“Oh sorry.”

“Nggak apa-apa. Istri kamu?

“No, aku belum menikah.”

“Kenapa? Masa cowok idola nggak punya istri? Nggak punya satu?”


Dia hanya tertawa. Katanya, cinta di hatinya sudah habis di satu hati yang tak pernah termiliki.

“Jadi, kamu memilih untuk jomblo selamanya?” tanyaku.

“Ya, menunggu Tuhan menghadapkannya untukku.”

“Ya ampun, kalau dia udah bersuami?”

“Kudengar tadi dia sudah sendiri.”


Tiba-tiba Bastian menatapku dalam-dalam. Aku mencerna baik-baik apa yang baru saja ia ucapkan.

“Seperti kopi yang menjadi teman sejati, pagi atau malam selalu bisa dinikmati. Seperti itulah dia yang ada di hati, selalu mengisi hari-hari,”

 

Mendadak aku jadi canggung. Aku ingat, dulu aku pernah dengar dari teman satu kampusku bahwa Bastian diam-diam menyukaiku. Tapi kupikir itu hanya lelucon, karena mana mungkin cowok sekeren dia menyukai cewek biasa sepertiku. Lalu pikiran itu hilang. 


Itu adalah pertemuan pertama kali setelah sekian lama. Entah kenapa setelah hari itu aku memikirkan ucapannya. Tentang hati yang sepi karena cintanya pergi. Tentang perempuan yang enggan digantikan oleh yang lain di hatinya.


5 bulan kemudian. Angin membawaku kembali ke kota itu. Aku mendapat tawaran sebagai host untuk sebuah acara seminar tentang “Pemuda dan Bisnisnya”. 

And shockly, Bastian menjadi pembicara seminar kami karena bisnis cafenya yang sukses di usia mudanya.

Aku terkekeh dalam hati, apa sebenarnya rencana Tuhan? Di saat aku terpuruk dan dilukai oleh cinta lalu berdoa meminta obatnya, Tuhan justru beberapa kali mempertemukanku dengannya.

Ah, tapi aku tak mau besar kepala. Mungkin ini hanya sebuah kebetulan. Aku saja yang terlalu jauh mikirnya.


“Ngopi yuk!” ajaknya setelah acara selesai.


Kami pergi bersama, kembali duduk di cafenya untuk mendengar cerita lain yang belum usai kami uraikan. Dua cangkir kopi di hadapan kami menjadi saksi tawa yang tersaji.

“Gimana capucino? Enak?” 

“Mm, sepertinya ada yang coba-coba bikin aku jadi pecinta kopi nih.” aku manggut-manngut setelah menyeruput capucino yang dia buat.

“Katanya, capucino itu kopi cantik, harus terlihat seindah mungkin untuk orang yang suka keindahan. Cocok diminum sama kamu.”


Aku tersedak mendengar ucapannya. Rasanya ini bukan Bastian yang ku kenal. 

“Sejak kapan kamu pinter berkata-kata?” tanya ku heran. 

 “Sejak aku kehilangan kamu satu kali, sepuluh tahun lalu.”


Jantungku berhenti berdetak sekian detik, menerima kata-kata dan tatapan mata yang tajam. Dia mengulurkan tangan.

“Perempuan yang enggan digantikan itu kamu Di, saat kamu tanya kenapa aku belum menikah. Aku menjawab menunggu Tuhan mendatangkan untukku. Dan ini jawaban dari Tuhan. Dia mendatangkan kamu untukku.”


Aku terdiam, tidak bisa berkata apapun. Hatiku sebenarnya mengatakan hal yang sama. Aku yang pernah terluka, dan seperti menemukan obatnya. 


“Jangan sampai kopimu dingin karena terlalu lama kau diamkan. Aku adalah kopi itu, apa akan kamu diamkan hingga dingin atau akan kamu nikmati sebagai temanmu setiap pagi?”


Hari ini, Bastian menyatakan perasaannya yang ternyata sudah lama ia pendam, terkubur dalam kesakitan saat dulu menyaksikanku menikah dengan orang lain. Dulu kami hilang kontak karena memang pertemanan kami tak terlalu dekat. Sekarang dia meyakinkanku tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya.


Tuhan kadang suka melucu

Dia menghidangkan Cinta yang telah lama hilang dalam secangkir Kopi.


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cinta Dalam Secangkir Kopi

Aku hampir tak mengenalinya jika dia memperlihatkan senyuman dengan kerlingan matanya yang khas.  Aku berdiri mematung, saat seorang laki-la...