Rabu, 07 Agustus 2024

Janji Kelingking

 

Aku memejamkan mata saat kuas-kuas lembut dari tangan seorang make up artis menyapu pipiku. Tanganku dingin berkeringat. Dalam hitungan menit aku akan memakai topi hitam segi lima yang sudah ku nantikan tiga setengah tahun lamanya. 

Time flies, masih kuingat jelas, seperti baru kemarin. Aku si anak enerjik memakai baju putih hitam menggendong tas ransel dari karung goni bertopi caping. Berbaris di bawah terik matahari pukul 11 siang. Pas lagi panas-panasnya. 

Perkenalkan dia, teman pertamaku, Uti namanya. Kami hampir mirip. Dia suka berceloteh, suaranya keras, kalau kami berdua berkumpul pecah suasana. Satu minggu ospek unversitas, satu minggu ospek fakultas kami berjodoh bisa bersama. Sangat kebetulan satu prodi bahkan satu kelas, hanya saja saat malam keakraban kita dipisahkan, tidak lagi bersama dalam satu regu.

Sore itu terang benderang, musim kemarau di bulan Agustus. Lama tidak turun hujan membuat rumput di lapangan setengah menguning, kering. Hari terakhir kami menyelesaikan misi sebagai anak baru. Lelah sekali, kami duduk sebentar di bawah pohon di tepian lapangan. Orang-orang bahkan sudah lebih dulu pulang, tapi kami memilih duduk sekedar bertukar pengalaman. 

Hampir gelap, Uti menawariku menginap saja di kost nya karena terlihat aku sangat lelah. Aku memang tidak kost. Rumahku Cuma 30 menit saja dari kampus naik sepeda motor. Ngebut sedikit ya 20 menit sampailah. Tapi sore ini teramat lelah. Aku merebahkan tubuhku, meluruskan punggung yang hampir patah di atas tempat tidurnya. 

Uti mendekat, memberiku satu buah spidol hitam besar. Keningku berkerut.

“Buat apa?” aku menerima spidol yang diberikan oleh Uti

“Menulis mimpi, ayo kita ukir di tembok, biar kalau kamu main ke sini kita akan selalu baca mimpi kita ini.” Uti memberi contoh, menulis di dinding di atas kepala ranjangnya.

Aku sendiri masih berpikir menulis apa.

LULUS CUMLAUDE 3,5 TAHUN

Tiba-tiba hanya itu yang terbersit di dalam pikiranku. Yah, aku ingin lulus sebagai yang terbaik.

Kubaca miliknya lalu tertawa.

DAPET COWOK KEREN

Kami memang berbeda. Baginya mendapat cowok keren di kampus jauh lebih penting dari dapat nilai bagus.

“Janji yah, nanti kita di kelas duduknya harus deketan, biar aku bisa nyontek kamu. Hahahaha” katanya mengacungkan jari kelingking.

“Iya, semoga kita lulus sama-sama cumlaude 3,5 tahun. Hahahaha” kelingking kami bertaut.

Janji kelingking di ujung hari baru saja kami ukir untuk mengawali hiruk pikuk dunia perkuliahan.

Semua berjalan baik, seperti yang kami mau. Semester satu aku berhasil dapat peringkat satu di angkatan kami. Membahagiakan. Uti sendiri lebih tidak peduli dengan berapa IPK nya, yang penting nilainya aman. Hampir setiap siang kamar kost nya berubah menjadi persinggahan sementara menunggu jam kuliah selanjutnya.

Di akhir semester tiga mendadak Uti tidak mengikuti ujian akhir. Banyak kawan bertanya padaku, aku sendiri tidak tahu. Tidak biasanya dia memutuskan komunikasi. Hampir putus asa aku dibuatnya, dengan cara apalagi aku menghubungi sekedar tahu kabarnya.

Suatu hari, di libur semester akhirnya dia menghubungiku. Kami bercerita melepas rindu. Uti tak ingin mengatakan mengapa ia menghilang.

Kami bertemu di taman belakang kampus. Kulihat dia sekarang sangat kurus. Tubuh bak ‘gitar spanyol’ nya tak lagi indah. Wajahnya pias, dan aku ingin menangis melihat lingkar hitam di bawah matanya.

Kudekap erat, ia pun membuka topi yang dikenakannya, “Say, aku botak.. lihat!!”

Tuhan, apa ini? Aku benar-benar ingin menangis, tapi aku tak mau membuatnya menangis pula sementara dia berusaha tetap tersenyum di tengah sakit yang dirasa.

“Aku kanker paru-paru stadium tiga.”

Petir menyambarku tepat di ujung kepala, pening sekali. Mendadak darahku berhenti mengalir ke otak. Aku tak salah dengar??

Tidak, dia benar-benar sakit.

Setelah pertemuan kami sore itu, Uti tak lagi datang ke kampus. Keadaan memaksanya untuk berhenti kuliah. Fokus berobat, kemoterapi.

Sempat beberapa kali aku menemaninya di Rumah Sakit. Mungkin akar-akar kanker sudah berhasil menggerogoti tubuhnya, tapi tidak dengan senyumnya. Dia tetap menyenangkan dan berusaha bahagia. Dia sering marah kalau aku menangis. Katanya menangis tak membuat penyakitnya lantas pergi. Menangis hanya membuat Uti semakin tidak rela berpisah denganku suatu hari. 

Tapi aku berbohong untuk berjanji tak pernah menangisinya, faktanya setelah kepergiannya setahun lalu aku masih sesekali menangis kala malam. Terlebih saat mengingat janji kita untuk tetap keren di kampus.

Make up selesai, aku memakai topi togaku, berjubah hitam. Aku duduk di barisan depan. Barisan khusus mahasiswa berprestasi. Beberapa menit kemudian, namaku dipanggil sebagai peringkat 3 mahasiswa terbaik dengan IPK 3,8. 

Uti, lihat Akku berhasil memakai selempang cumlaude seperti janji yang kita ukir senja kala itu. Lihatlah dari tempatmu berada, aku bahagia dan tersenyum seperti pesan terakhirmu tahun lalu.

Malam itu kita tertawa lewat pesan suara, hampir jam 2 malam dan kamu masih bersuara lantang. Pagi harinya aku harus melaju kencang dengan sepeda motorku berboncengan dengan kawan-kawan yang menyayangimu juga. Menepis jarak yang tak dekat hanya untuk mengantarmu ke tempat peristirahatan yang kekal.

Semilir angin siang seperti membawa aroma parfum mu di bawah pohon ini. Pohon saat kita sering duduk bersama dulu. Usai wisuda kali ini aku inginkan berfoto dengan bingkai wajahmu yang selalu tersenyum ceria di bawah pohon ini. Kita berhasil lulus bersama meski di dunia yang berbeda.


TAMAT



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cinta Dalam Secangkir Kopi

Aku hampir tak mengenalinya jika dia memperlihatkan senyuman dengan kerlingan matanya yang khas.  Aku berdiri mematung, saat seorang laki-la...