Kamis, 29 Agustus 2024

Hantu Pohon Cangkring

 Apa kalian tahu pohon “Cangkring”? Ada mitos tentang pohon cangkring di desaku. Katanya pohon ini adalah rumahnya para hantu. Orang-orang percaya dengan cerita ini karena banyak kisah nyata yang semakin memperkuat mitos yang beredar dari zaman dulu. 

Suatu hari bapakku yang hobi sekali memancing ini pergi ke sungai dekat rumah. Di sana ada beberapa pohon cangkring besar yang kokoh berdiri dan nyaman untuk berteduh di bawahnya. Hingga hampir tengah hari bapak duduk di sana. Semula Bapak ditemani dua orang lainnya, tapi perlahan mereka pergi satu persatu karena sudah azan.

Tinggallah bapak sendiri. Lalu ada seorang duduk di sampingnya, memancing seperti Bapak. Bapak menyapa, “Siangan pak? Saya sudah mau pulang.”

Orang itu mengangguk dan tersenyum. Merasa aneh, Bapak memutuskan menyudahi. Akhirnya bapak berdiri, mengemasi kailnya.

Orang itu tersenyum lagi dan hanya mengangguk. Lalu Bapak melangkah pergi. Baru dua langkah kakinya bergerak, Bapak membalikkan badan. Orang itu menghilang dengan semua peralatan mancingnya tadi. Tapi kemana?? Sedangkan Bapak baru saja berdiri. Otak Bapak segera mencerna. Bulu kuduknya berdiri dan langsung saja Bapak berlari. Di rumah Bapak bercerita pada ibu tentang apa yang ia alami. Ibu hanya tertawa.

“Makanya pak, kalau sudah dengar azan itu pulang. Rasain kan jadi ditemenin sama setan. Hahahaha”

***

Cerpen untuk Nuram @ellunarpublishing

Dimas and The Black Cat Death (Coklat Tua Coklat Muda)

 Secarik kertas putih tergenggam di tangannya, Dimas menatap kesal. Mengikuti kemah adalah hal paling menyebalkan baginya. Sewaktu pemilihan ekstrakurikuler saja dia berusaha menghindar dari Pramuka agar tidak ikut yang namanya kemah, eh tapi kali ini justru dipaksa berangkat. Dia meremas kertas pemberitahuan yang ditujukan untuk orang tuanya itu lalu memasukkan ke dalam tas. 

Di warung pojok depan sekolahnya sudah ada beberapa temannya yang menunggu. Dimas duduk di tengah mereka menerima tawaran sebatang rokok. Mereka ini kalau ketahuan merokok di area sekolah sudah tamat riwayat. Beberapa dari mereka juga ikut mendapat hukuman pagi tadi. Mereka membahas rencana untuk kabur dari perkemahan nanti.

Di tengah asyik menghisap rokok yang sudah tinggal setengah di tangannya, tiba-tiba kucing hitam itu muncul di depan Dimas. Entah dari mana asalnya, tapi Dimas cukup terkejut. Si kucing tampak menampakkan matanya yang mengerikan seolah sedang melotot padanya. Bulu kuduknya bergidik, Dimas membuang putung rokok lalu menginjaknya. Ia segera pergi dari gerombolan itu dan dari tatapan sang kucing.

Sampai di rumah, Dimas langsung masuk kamar tanpa berganti seragam. Ia menjatuhkan diri, tertelungkup mencium bantal. Matanya terpejam dan mendengkur. Beberapa kali teriakan dari luar kamarnya terdengar. Ibu meneriakinya karena baru saja dapat laporan dari tetangga bahwa dia punya hutang rokok sekian ribu di warung. Geram sekali hati ibu. Bukan kali ini saja Dimas membuatnya beristighfar seribu kali sehari karena kelakuannya yang membuat ibu jadi bahan gunjingan tetangga.

Semester lalu ibu mendapat panggilan setelah Dimas terlibat tawuran dengan sekolah lain. Ada pula Dimas tak membayar uang buku selama satu semester dan beberapa kenakalan lainnya. 

Kali ini ibu mendobrak kamarnya dengan membawa sapu ijuk. Ibu memukul betisnya hingga Dimas tersentak kaget. Wajahnya berubah kesal mendapati ibu sudah mengeluarkan suara 8 oktafnya.

"Ya Allah Dimaaaaaassss, ibu harus ngomong pake bahasa apa lagi biar kamu nurut hah!!" Satu sabetan mendarat membuatnya mengaduh, "Ibu sumpahin kamu jadi tentara besok, biar didik lebih keras dari didikan ibu!!!!!" Saking marahnya, ibu sampai bingung harus mengucapkan doa yang bagaimana lagi.

Dimas hanya menggaruk kepala, tak peduli kepala ibu ya sudah panas berasap. Ibu tak tahu padahal hari ini sumpahnya hampir menjadi kenyataan karena sebentar lagi anaknya benar-benar akan dididik oleh para tentara. Namun sepertinya Dimas tak mau menunjukkan surat pemberitahuan dari sekolah tadi karena memang dia berencana untuk melarikan diri.

Hingga esok hari, saat Dimas membuka mata, sebuah ransel besar sudah siap di atas kursi ruang tamu lengkap dengan semua perlengkapan untuk berkemah. Dimas heran dan terkejut mengapa pagi-pagi ibu sudah tahu tentang perkemahan itu.

Senyum tersimpul di bibir ibu dengan membawa sepiring nasi berlauk telor ceplok dan segelas teh hangat. Ia letakkan di meja, satu kotak bekal tak ketinggalan bertengger di sampingnya. Dimas semakin bingung.

"Kenapa?? Kaget kamu ibu sudah menyiapkan semuanya??" Ibu tersenyum menang.

"Ibu tahu dari mana?" Dimas bertanya 

"Kamu tidur seperti kebo. Sebenarnya saat kamu masih di sekolah ibu sudah ditelepon pak guru katanya kamu ditugaskan ikut kemah bela negara. Ibu sengaja tidak tanya kamu buat menguji apa kamu mau jujur atau tidak. Ternyata kamu mau melarikan diri yah.!!!" Ibu berhasil menjewer telinga anak semata wayangnya.

"Ini surat ini kamu rusak dan tidak kamu tunjukkan ke ibu. Kamu kira ibu tidak tahu?? Sekarang ibu sudah siapkan semuanya dan kamu harus berangkat!!!" Ibu menggulung lengan dasternya.

"Nggak. Dimas nggak mau." Anak itu duduk dengan wajah kesal di atas sofa.

Lagi-lagi, mendadak seekor kucing hitam lompat ke arahnya dan mematung di atas meja tepat di depan Dimas. Mata mengerikan kucing hitam itu mendelik.

"Ha!!!!! Astaghfirullah, kaget!!! Kucing dari mana datangnya?!" Dimas melompat terkejut. 

Mereka saling bertatapan. Ibu tertawa melihat adegan itu.

"Itu pertanda kucing itu ada di pihak ibu. Sudah sekarang mandi dan berangkat. Ayok!!" Ibu menarik telinganya agar beranjak masuk ke dalam kamar mandi.

"Awas kamu ya kalau coba-coba kabur dari kegiatan ini. Ibu masukin kamu ke pesantren sekalian!!!" Teriak ibu dari luar kamar mandi.

***

Seragam coklat tua coklat muda berbaris rapi di Aula. Baru kali ini setelah 2 tahun menyekolahkan anaknya di SMA ibu tersenyum bangga melihat anaknya gagah menggunakan seragam yang selama ini hanya ia pakai di hari Jumat saja. 

Datang sebagai tamu undangan, ibu bertepuk tangan lalu mengusap titik air mata yang lolos di pipinya setelah kesepuluh anak laki-laki itu dikukuhkan sebagai peserta Perkemahan Bela Negara.

Masih dengan wajah kesal, Dimas Salim meminta ijin pada sang ibu untuk berangkat bersama rombongan menggunakan truk yang sudah parkir di depan sekolah. Tentu saja tak ikhlas begitu saja, Dimas berjalan malas naik ke atas truk. Masih ada rencana yang akan ia dan teman-temannya lakukan saat kemah nanti. 

Baru saja tersenyum karena mengingat rencana nakalnya, kucing hitam mengerikan muncul lagi di depannya. Seperti biasa, wajahnya seram, melotot dengan mata kuning bersinar. 

Kali ini Dimas tidak takut. Dia mendekati si kucing berniat ingin menangkapnya karena kesal. Mengapa setiap kali Dimas berniat atau melakukan hal-hal buruk kucing ini selalu muncul di hadapannya? Dengan sigap Dimas melompat menerkam kucing. 

Buk!!! Sial. Bukannya tertangkap, Dimas justru tersungkur, membuat teman-teman yang melihatnya tertawa. Kucing hitam itu berhasil pergi menghilang begitu saja. Sepanjang jalan Dimas berpikir keras. Makhluk apa sebenarnya kucing hitam itu?? 

"Jangan-jangan dia siluman." Gumamnya dalam hati.

Tak berapa lama, rombongan sampai di bumi perkemahan. Sudah banyak berdiri tenda-tenda dari sekolah lain. Laki-laki perempuan, camp mereka terpisah. 

Pak Bagyo, selaku bina damping, membariskan mereka untuk briefing apa yang akan kesepuluh anak itu lakukan sesampainya di kapling tenda.

"Danar!! Kamu sebagai pemimpin harus benar-benar memimpin anggota kamu selama kegiatan. Setelah ini kalian dirikan tenda sesuai lokasi yang sudah ditentukan. Mulailah mengikuti jadwal yang sudah disusun. Ingat, kalau sampai salah satu dari kalian ada yang mencoba melarikan diri atau absen dari kegiatan, kami tidak segan-segan menambah porsi hukuman kalian. Mengerti?!!" Pak Bagyo memberikan satu bendel buku panduan kepada Danar, si pemimpin pasukan.

Sepuluh anak paling malas dan bermasalah itu berjalan rapi tanpa semangat memasuki area perkemahan. Tentu saja, tidak ada sedikitpun senyum kegembiraan tergambar di wajah mereka. Dalam benak mereka, camp ini adalah neraka untuk satu Minggu ke depan.

Apakah mereka akan bertahan dan menurut??


*Bersambung

Rabu, 07 Agustus 2024

Janji Kelingking

 

Aku memejamkan mata saat kuas-kuas lembut dari tangan seorang make up artis menyapu pipiku. Tanganku dingin berkeringat. Dalam hitungan menit aku akan memakai topi hitam segi lima yang sudah ku nantikan tiga setengah tahun lamanya. 

Time flies, masih kuingat jelas, seperti baru kemarin. Aku si anak enerjik memakai baju putih hitam menggendong tas ransel dari karung goni bertopi caping. Berbaris di bawah terik matahari pukul 11 siang. Pas lagi panas-panasnya. 

Perkenalkan dia, teman pertamaku, Uti namanya. Kami hampir mirip. Dia suka berceloteh, suaranya keras, kalau kami berdua berkumpul pecah suasana. Satu minggu ospek unversitas, satu minggu ospek fakultas kami berjodoh bisa bersama. Sangat kebetulan satu prodi bahkan satu kelas, hanya saja saat malam keakraban kita dipisahkan, tidak lagi bersama dalam satu regu.

Sore itu terang benderang, musim kemarau di bulan Agustus. Lama tidak turun hujan membuat rumput di lapangan setengah menguning, kering. Hari terakhir kami menyelesaikan misi sebagai anak baru. Lelah sekali, kami duduk sebentar di bawah pohon di tepian lapangan. Orang-orang bahkan sudah lebih dulu pulang, tapi kami memilih duduk sekedar bertukar pengalaman. 

Hampir gelap, Uti menawariku menginap saja di kost nya karena terlihat aku sangat lelah. Aku memang tidak kost. Rumahku Cuma 30 menit saja dari kampus naik sepeda motor. Ngebut sedikit ya 20 menit sampailah. Tapi sore ini teramat lelah. Aku merebahkan tubuhku, meluruskan punggung yang hampir patah di atas tempat tidurnya. 

Uti mendekat, memberiku satu buah spidol hitam besar. Keningku berkerut.

“Buat apa?” aku menerima spidol yang diberikan oleh Uti

“Menulis mimpi, ayo kita ukir di tembok, biar kalau kamu main ke sini kita akan selalu baca mimpi kita ini.” Uti memberi contoh, menulis di dinding di atas kepala ranjangnya.

Aku sendiri masih berpikir menulis apa.

LULUS CUMLAUDE 3,5 TAHUN

Tiba-tiba hanya itu yang terbersit di dalam pikiranku. Yah, aku ingin lulus sebagai yang terbaik.

Kubaca miliknya lalu tertawa.

DAPET COWOK KEREN

Kami memang berbeda. Baginya mendapat cowok keren di kampus jauh lebih penting dari dapat nilai bagus.

“Janji yah, nanti kita di kelas duduknya harus deketan, biar aku bisa nyontek kamu. Hahahaha” katanya mengacungkan jari kelingking.

“Iya, semoga kita lulus sama-sama cumlaude 3,5 tahun. Hahahaha” kelingking kami bertaut.

Janji kelingking di ujung hari baru saja kami ukir untuk mengawali hiruk pikuk dunia perkuliahan.

Semua berjalan baik, seperti yang kami mau. Semester satu aku berhasil dapat peringkat satu di angkatan kami. Membahagiakan. Uti sendiri lebih tidak peduli dengan berapa IPK nya, yang penting nilainya aman. Hampir setiap siang kamar kost nya berubah menjadi persinggahan sementara menunggu jam kuliah selanjutnya.

Di akhir semester tiga mendadak Uti tidak mengikuti ujian akhir. Banyak kawan bertanya padaku, aku sendiri tidak tahu. Tidak biasanya dia memutuskan komunikasi. Hampir putus asa aku dibuatnya, dengan cara apalagi aku menghubungi sekedar tahu kabarnya.

Suatu hari, di libur semester akhirnya dia menghubungiku. Kami bercerita melepas rindu. Uti tak ingin mengatakan mengapa ia menghilang.

Kami bertemu di taman belakang kampus. Kulihat dia sekarang sangat kurus. Tubuh bak ‘gitar spanyol’ nya tak lagi indah. Wajahnya pias, dan aku ingin menangis melihat lingkar hitam di bawah matanya.

Kudekap erat, ia pun membuka topi yang dikenakannya, “Say, aku botak.. lihat!!”

Tuhan, apa ini? Aku benar-benar ingin menangis, tapi aku tak mau membuatnya menangis pula sementara dia berusaha tetap tersenyum di tengah sakit yang dirasa.

“Aku kanker paru-paru stadium tiga.”

Petir menyambarku tepat di ujung kepala, pening sekali. Mendadak darahku berhenti mengalir ke otak. Aku tak salah dengar??

Tidak, dia benar-benar sakit.

Setelah pertemuan kami sore itu, Uti tak lagi datang ke kampus. Keadaan memaksanya untuk berhenti kuliah. Fokus berobat, kemoterapi.

Sempat beberapa kali aku menemaninya di Rumah Sakit. Mungkin akar-akar kanker sudah berhasil menggerogoti tubuhnya, tapi tidak dengan senyumnya. Dia tetap menyenangkan dan berusaha bahagia. Dia sering marah kalau aku menangis. Katanya menangis tak membuat penyakitnya lantas pergi. Menangis hanya membuat Uti semakin tidak rela berpisah denganku suatu hari. 

Tapi aku berbohong untuk berjanji tak pernah menangisinya, faktanya setelah kepergiannya setahun lalu aku masih sesekali menangis kala malam. Terlebih saat mengingat janji kita untuk tetap keren di kampus.

Make up selesai, aku memakai topi togaku, berjubah hitam. Aku duduk di barisan depan. Barisan khusus mahasiswa berprestasi. Beberapa menit kemudian, namaku dipanggil sebagai peringkat 3 mahasiswa terbaik dengan IPK 3,8. 

Uti, lihat Akku berhasil memakai selempang cumlaude seperti janji yang kita ukir senja kala itu. Lihatlah dari tempatmu berada, aku bahagia dan tersenyum seperti pesan terakhirmu tahun lalu.

Malam itu kita tertawa lewat pesan suara, hampir jam 2 malam dan kamu masih bersuara lantang. Pagi harinya aku harus melaju kencang dengan sepeda motorku berboncengan dengan kawan-kawan yang menyayangimu juga. Menepis jarak yang tak dekat hanya untuk mengantarmu ke tempat peristirahatan yang kekal.

Semilir angin siang seperti membawa aroma parfum mu di bawah pohon ini. Pohon saat kita sering duduk bersama dulu. Usai wisuda kali ini aku inginkan berfoto dengan bingkai wajahmu yang selalu tersenyum ceria di bawah pohon ini. Kita berhasil lulus bersama meski di dunia yang berbeda.


TAMAT



Cinta Dalam Secangkir Kopi

Aku hampir tak mengenalinya jika dia memperlihatkan senyuman dengan kerlingan matanya yang khas.  Aku berdiri mematung, saat seorang laki-la...