Kita saling beradu pandang. Dengan bibir bergetar menahan agar tak ada air yang lolos dari kelopak mata setelah perdebatan panjang yang belum juga menemukan ujungnya, aku diam. Aku memilih menyilakan kamu terus bicara. Otot lehermu bahkan hampir keluar, tanda kamu begitu kesal rupanya.
Aku menghela nafas, mengedipkan mata hingga akhirnya tak mampu kutahan lagi genangan air di bola mata ini.
“Apa masih kurang rasa pengertianku pada sikapmu?” Hanya itu jawabku untuk membela diri.
“Segala kesibukanmu selama ini, keinginanmu, egomu, aku selalu berusaha memahami. Sampai hari ini, aku menurut. Menunggumu selesai di depan lorong itu pun aku lakukan. Tapi kamu malah pergi bersama teman wanita yang katamu sangat membutuhkan bantuanmu tanpa memberitahuku.” Dan penjelasan ini kuucapkan dengan hati yang masih perih.
“Sekarang apa maumu?” Kedua tangannya menggenggam telapak tanganku yang berkeringat.
“Maaf aku sudah tidak ingin berdebat. Mari kita akhiri saja hari ini, aku lelah. “ kataku dengan nada lebih rendah dari sebelumnya, melepaskan dari genggamannya.
Aku kembali menghela nafas di atas tempat tidurku setelah dia mengantarku pulang. Suara adu mulut kami masih berputar di dalam kepala. Kucoba menutup mataku erat, berharap rasa lelah di hati hari ini hilang saat aku membukanya nanti.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar