Rabu, 26 Juni 2024

Dimas and The Black Cat Death (Kematian Kucing Hitam)

 "Dimaaaaaaasssssssss!!!!!" Begitu teriakan Lastri hingga getarannya terasa sampai tembok tetangga. Sapu ijuk bergagang rotan melayang nyaris menimpuk kepalanya.

Dimas setengah berlari, meraih sebutir singkong rebus dari atas meja makan yang baru saja matang. Setelah Salim dengan wanita yang ocehannya belum berhenti sejak 30 menit yang lalu, ia keluar dari rumahnya memakai seragam putih abu-abu. Kaos kakinya bahkan terbalik saking terburu-buru karena 5 menit lagi gerbang sekolahnya akan ditutup rapat oleh satpam sekolah.

"Kapan si kamu nggak bikin emakmu ini marah-marah tiap pagi........" Lastri ikut berjalan mengikuti anaknya keluar dari rumah, lalu berdiri di depan pintu dengan membawa sapu ijuk yang tadi sempat ia lempar di tangan kanannya.

Tak perlu banyak menjawab, Dimas melambaikan tangan pada ocehan itu, berlari menyusuri gang senggol tempat tinggalnya yang hanya memiliki lebar 1,5 meter saja. Hanya cukup untuk lewat sepeda motor. Pun kalau ada 2 motor berpapasan mereka akan mengambil sisi jalan paling pinggir, tipis sekali, satu senti geser dikit akan nyenggol tembok tinggi yang semennya kasar. Jadi kalau kulit kita menggesek tembok, lumayanlah membuat segores luka di kulit.

Hampir sampai di ujung gang, tiba-tiba dua ekor kucing melompat dari atas tembok dan mengenai wajah Dimas. Satu kucing berwarna oranye lari tunggang langgang, satu lagi berwarna hitam mendarat di atas tubuh Dimas yang tersungkur. Merasa kesal dengan perbuatan sang kucing, Dimas mengangkat tubuh kucing hitam itu dari tubuhnya lalu menendangnya.

Namun, tak disangka Kucing hitam itu tergeletak tak bergerak. Dimas merasa bersalah, ia mendekat lalu membalikkan tubuh si kucing. Matanya melotot menatap kearahnya dengan lidah sedikit menjulur. 

"Heh, kenapa mati??" Dimas berdiri menjauh

Tak ingin semakin kesiangan, dia membiarkan begitu saja jasad si kucing ditengah gang. Sesekali Dimas menengok apa si kucing bergerak atau benar-benar mati. Beberapa kali masih menengok dan kucing itu memang masih di tempatnya. Mati.

Sebagai anak yang sedikit bandel, Dimas sebenarnya tak peduli dengan kematian kucing Hitam itu, tapi entah kenapa dia penasaran. Bagaimana bisa seekor kucing tiba-tiba mati di atas tubuhnya.

Dimas menghentikan langkahnya, ragu-ragu ia berniat ingin mengubur kucing itu baik-baik. Saat membalikkan badannya, terkejutlah Dimas mendapati jasad si kucing sudah tidak ada. Kakinya berdiri di tempat di mana ia letakkan kucing itu tadi, matanya memutar kemana si kucing. Tapi benar, kucing itu memang sudah mati. Tak ada nafasnya, dan mata melotot tak bergerak. Lalu bagaimana bisa tiba-tiba menghilang? Padahal Dimas baru melangkah beberapa saja, belum jauh. Jika ada yang membawa kucing itu pergi pastilah ia tahu.

Tak ambil pusing, Dimas segera pergi. Ia berlari karena merasa sudah terlambat ke sekolah. Dari mulut gang, Dimas menyeberang tanpa menengok kanan dan kiri, asal lari saja hingga tiba-tiba sebuah mobil menginjakkan remnya hingga berbunyi nyaring karena terkejut Dimas lewat begitu saja di depannya. Sedikit tersenggol bamper depan, Dimas terjatuh. Hampir saja!!!

Wajahnya menunduk dengan jarak hanya beberapa senti saja dari aspal hingga ia bisa melihat kolong mobil yang menabraknya.

Matanya melotot saat melihat sesuatu di kolong mobil. Sebuah gumpalan hitam dengan dua buah lingkaran bersinar ada di kolong mobil. 

Dimas mengucek matanya agar bisa melihat dengan jelas benda apa itu. Semakin ia kucek matanya semakin jelas apa yang dilihatnya.

"Hah, kucing itu!!!!" 


*To be continue


Selasa, 18 Juni 2024

Selesai (Mini Cerita)

 


Kita saling beradu pandang. Dengan bibir bergetar menahan agar tak ada air yang lolos dari kelopak mata setelah perdebatan panjang yang belum juga menemukan ujungnya, aku diam. Aku memilih menyilakan kamu terus bicara. Otot lehermu bahkan hampir keluar, tanda kamu begitu kesal rupanya. 

Aku menghela nafas, mengedipkan mata hingga akhirnya tak mampu kutahan lagi genangan air di bola mata ini. 

“Apa masih kurang rasa pengertianku pada sikapmu?” Hanya itu jawabku untuk membela diri.

“Segala kesibukanmu selama ini, keinginanmu, egomu, aku selalu berusaha memahami. Sampai hari ini, aku menurut. Menunggumu selesai di depan lorong itu pun aku lakukan. Tapi kamu malah pergi bersama teman wanita yang katamu sangat membutuhkan bantuanmu tanpa memberitahuku.” Dan penjelasan ini kuucapkan dengan hati yang masih perih.

“Sekarang apa maumu?” Kedua tangannya menggenggam telapak tanganku yang berkeringat.

“Maaf aku sudah tidak ingin berdebat. Mari kita akhiri saja hari ini, aku lelah. “ kataku dengan nada lebih rendah dari sebelumnya, melepaskan dari genggamannya.

Aku kembali menghela nafas di atas tempat tidurku setelah dia mengantarku pulang. Suara adu mulut kami masih berputar di dalam kepala. Kucoba menutup mataku erat, berharap rasa lelah di hati hari ini hilang saat aku membukanya nanti.

***

Kamis, 06 Juni 2024

Arafuru (Part 1)

Ini adalah kisahku dan anak laki-lakiku yang membuat hidupku berwarna. Aku ingin bercerita tentang dia yang dipandang sebelah mata oleh dunia.

Kuberi nama dia Yuji Arafuru, kami memanggilnya Aru. Bayi laki-lakiku yang sangat kuat meski kami sering menerima banyak rintangan dari awal aku mengandungnya. Dulu, aku sempat hampir kehilangan dia saat 4 bulan dalam kandungan. Melakukan perjalanan jauh dan sedikit kelelahan saat berkunjung ke rumah mertua membuatku sore itu merasa sangat lelah. Saat Maghrib tiba aku merasa ada yang basah di celana dalamku. Kutengok di kamar mandi, ada bercak darah. 

Perasaanku mulai curiga, tapi aku diam. Aku beristirahat di kamar, merebahkan diri. Tiba-tiba perutku mengeras dan terasa kaku, aku semakin merasakan basah di celana dalamku. Kutengok lagi, darah semakin banyak bahkan sempat menetes. Karena panik aku langsung berteriak memanggil mama mertua. Hanya ada kami bertiga, aku, mama mertua, dan adik Perempuanku. Kami bertiga panik, tapi aku masih bisa berpikir sedikit. Aku meminta adik perempuanku memesan taksi online segera untuk membawa ke rumah sakit.

Sampai di rumah sakit, perutku semakin kaku dan kram. Beruntung segera mendapat perawatan, Aru masih bisa bertahan. Namun ada hal lain yang mengganjal. Ada sebuah tumor seukuran bakso  "Bogem" dalam perutku. Di dalam ovarium lebih tepatnya yang bisa saja mengganggu pertumbuhan Aru di dalam rahim.

Hanya bisa dioperasi nanti saat Aru sudah lahir. Artinya aku mengandung seorang bayi dan sebuah tumor besar. Tentu saja rasanya jangan ditanya. Antara takut dan takut banget. Tapi aku bisa melewatinya. Kami bertahan hingga Aru lahir ke dunia.

Dan tentu saja, kelahiran Aru pun penuh drama air mata..



Bersambung....

Cinta Dalam Secangkir Kopi

Aku hampir tak mengenalinya jika dia memperlihatkan senyuman dengan kerlingan matanya yang khas.  Aku berdiri mematung, saat seorang laki-la...