Tak Ada Ayam, Bebek Pun Jadi
Karya: Widya Dhian
Pagi-pagi Slamet mengeluarkan sepeda ontelnya lalu menyenderkan di tiang bambu teras rumah. Bukan teras seperti yang dibayangkan dengan keramik dan dinding tembok, melainkan hanya dinding bambu dengan tanah sebagai alasnya.
“Sarapan dulu pak.” Kata Yanti, istrinya yang sedang menata tempe goreng yang baru matang di atas piring.
“Masakan istriku memang paling enak.” Selesai menhabiskan makanannya Slamet berdiri memakai jaket dan topinya, bersiap untuk berangkat.
Slamet mencium pucuk kepala sang istri dan menerima salim dari wanita berdaster merah itu. Slamet meminta ijin padanya untuk mencari nafkah hari ini seraya berdoa semoga hari ini banyak yang mencari jasanya menge-sol sepatu.
Ya, Slamet adalah tukang sol sepatu yang selalu mangkal di pasar induk. Pagi-pagi sekali sebelum anak-anaknya terbangun, dia berangkat ke pasar untuk membantu mobil-mobil sayur menurunkan dagangannya. Setelah menawarkan bantuan tenaganya, Slamet akan mendapatkan upah dari para juragan sayur itu. Barulah setelah matahari mulai naik dan pasar semakin ramai, Slamet duduk di singgasananya. Di pojok luar gedung dekat dengan toilet ia menata kotak berisi peralatan solnya.
Di rumah, Yanti merawat dua anak perempuan mereka yang masih kecil. Satu berumur 8 tahun, satu lagi berumur 2 tahun. Yanti, hanya mengurus rumah tangga dan kebun kecil di samping rumah yang berisi cabai dan sedikit sayuran hasil ia menanam sendiri.
Pagi ini, Yanti memasak tempe goreng dan tumis kangkung. Seperti biasa, hanya 2 macam kudapan di atas meja. Satu lauk dan satu sayur itupun kalau tidak tahu ya tempe, selang seling saja setiap hari. Pendapatan Slamet sebagai tukang sol hanya cukup untuk itu.
“Bu, kapan ibu masak ayam goreng? Boleh nggak nanti sore aku makan ayam goreng?” Tanya Lina, anak pertama Yanti yang sudah pandai bicara menyelesaikan sarapannya pagi ini.
Mereka memang jarang sekali makan ayam, telur, atau bahkan daging. Harga bahan makanan itu terlalu mahal bagi mereka. Makan ayam atau telur mereka rasakan hanya saat ada kendurian. Biasanya Slamet akan membawa besek berisi nasi lengkap dengan lauk pauknya yang biasanya berisi ayam atau telur.
Yanti tersenyum berlutut di hadapan anaknya, merapikan seragam sekolah lalu mencium keningnya. Ia menggandeng Lina sampai halaman rumah. Tangannya melambai mengantarkan anaknya berangkat sekolah pagi ini.
Tinggalah Yanti berdua dengan si bungsu. Kalau sudah mandi dan sarapan, si bungsu akan bermain di samping rumah atau ikut Yanti membersihkan kebun.
Pukul 11 Lina sudah pulang dari sekolah. Ucapan salamnya terdengar hingga ke kebun tempat di mana Yanti dan si bungsu berada.
Yanti selesai dengan pekerjaannya, ia masuk ke rumah dengan membawa beberapa buah cabai, tomat, dan daun singkong.
“Lina shalat Dzuhur dulu lalu kita makan yah!” Yanti menuntun si bungsu ikut masuk ke dalam rumah.
“Apa ayam gorengnya sudah ada bu?” Mata Lina berbinar.
“Belum sayang, tunggu bapak pulang nanti malam yah. Bapak akan dapat uang , baru besok pagi ibu beli ayamnya.” Sungguh tak tega rasanya Yanti melihat perubahan ekspresi Lina dari sumringah menjadi datar.
“Nggak apa-apa bu, tempe juga enak.” Sekuat tenaga Lina menahan matanya yang sebenarnya sedih karena ingin sekali makan ayam goreng.
Melihat keinginan yang kuat dari anak sulungnya, Yanti merasa tak tega. Ia masuk ke dalam kamar, membuka kaleng bekas biskuit yang berisi beberapa recehan yang sengaja ia kumpulkan.
Yanti mengambil beberapa ribu, lalu mengajak kedua anaknya ke warung tempat biasa ia berbelanja sayur barang kali masih ada daging ayam yang tersisa barang sepotong dua potong.
“Sudah mau sore begini ya sudah habis Bu Yanti, besok pagi baru ada lagi.” Jawab si pemilik warung membuat senyum Lina mendadak hilang.
“Ya sudah Bu, tidak apa-apa. Besok saya pesan seperempat kilo saja ya Bu, tolong disisihkan.” Yanti dan anak-anaknya kembali pulang ke rumah.
“Nggak apa-apa kok bu kalau kita nggak makan ayam goreng. Tempe juga enak dan bergizi kan?” Ucap Lina dalam perjalanan pulang mencoba menghibur ibunya.
Tak berapa lama, Sepeda Slamet terlihat memasuki halaman rumah saat Yanti dan kedua anaknya sedang bersantai di depan rumah. Slamet terlihat membawa karung berisi sesuatu yang bergerak-gerak.
“Assalamu’alaikum Bu,” Slamet meletakkan karung itu di atas tanah lalu menerima salim dari istri dan kedua anaknya.
Tak lupa Slamet menciumi pipi kedua putri cantiknya yang sudah wangi bedak bayi.
“Bawa apa itu pak? kok gerak-gerak?” Tanya Yanti penasaran, matanya sedari tadi melihat karung yang tak bisa diam.
“Oh,itu bebek Bu.” Slamet melepas topinya duduk di risban bambu sebelah sang istri.
Slamet berdiri mengambil kurungan ayam yang sudah lama tak dipakai karena dulu sempat memelihara ayam. Slamet lalu membuka karung itu. Ia mengeluarkan seekor bebek coklat lumayan besar, kemudian masukkan bebek itu dalam kurungan.
“Tadi di pasar ada orang bawa beberapa sepatu sekolah milik anaknya untuk di sol, tapi dia tidak punya uang untuk membayar karena kecopetan. Bapak merasa kasihan padanya. Dia hanya bawa dua ekor bebek. Lalu orang itu bertanya apa boleh bayar pake bebek? Bapak bilang tidak usah, bapak ikhlas menolong. Eh, orangnya maksa bapak buat terima satu bebeknya sebagai ganti jasa sol sepatunya.”
Yanti terus memandangi bebek itu, “Ini mau bapak pelihara?” tanya Yanti
“Ya disembelih juga boleh.” Kata-kata Slamet tiba-tiba membuat Yanti tersenyum lebar, sebuah ide bersarang di kepalanya.
“Lina sayang, hari ini kita dapat rejeki. Lina nggak bisa makan ayam goreng, sebagai gantinya kita akan makan bebek goreng.” Dengan wajah ceria Yanti bicara pada anak sulungnya.
“Asyiik.” Lina bersorak penuh semangat.
“Pak, bebeknya tolong sembelih sekarang juga! Malam ini ibu pastikan kita makan wuenak.!” Yanti memerintah suaminya untuk segera memotong bebek itu.
“Hore….” Slamet dan Lina kompak melompat kegirangan.
Sore itu juga Slamet menyembelih bebek dan membersihkan bulunya di luar, sedangkan Yanti menyiapkan bumbu ungkepnya. Ada cabai, tomat dan daun singkong hasil berkebun tadi siang, pas sekali jika dibikin sambal lalapan. Selagi kedua orang tuanya memasak di dapur Lina dengan senang hati mengajak sang adik bermain bersama. Sesekali ia akan melihat ke dapur yang masih memakai tungku itu karena tergoda aroma gurih dari ungkepan bebek buatan ibunya.
Tiba-tiba Yanti terdiam di depan tungku memikirkan sesuatu.
“Kenapa Bu? Kok bebeknya nggak di goreng? Sudah mau Maghrib, keburu cacing diperut bapak bernyanyi.” Kata Slamet mengelus perutnya yang mulai lapar.
“Ibu lupa, kita nggak punya minyak goreng. Tinggal sedikit sekali mana cukup untuk goreng bebek.”
“Kalau gitu jadi bebek bakar saja, ada bara api kan? Ini di meja makan masih ada kecap.”
“Oiya betul pak, Alhamdulillah. Bebek bakar.”
Setelah menerima ide dari Slamet, Yanti melanjutkan melumuri ungkepan bebek dengan kecap lalu memanggang di atas bara api tungkunya. Sesekali ia akan mengoles ulang daging bebek dengan kecap. Sembari menunggu, dia bisa sambil membuat sambal tomat. Cabai, bawang merah, bawang putih, tomat, dan sedikit terasi ia ulek di atas cobek. Setelah halus ia memanaskan sedikit sisa minyak bekas goreng tempe tadi pagi lalu menyiramkan ke atas sambal hingga berbunyi nyaring “sreeng,”
Aromanya menyebar ke seluruh ruangan rumah. Tak berapa lama bebek bakar matang, siap disajikan di atas tikar tempat mereka makan bersama dengan duduk bersila.
Lina sangat bahagia malam ini, selesai shalat maghrib Mereka makan malam mewah berlauk bebek bakar yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
“Enak banget Bu, ini lebih enak dari ayam goreng. Masakan ibu malam ini luar biasa. Lina minta ayam goreng tapi dikasih bebek bakar super lezat.” Lina begitu lahap menyantap.
“Tak ada ayam bebekpun jadi. Hahahaha.” Ucap Slamet sambil menyuap nasi dengan tangannya ke dalam mulut.
Berkali-kali Lina mengucapkan terimakasih kepada bapak dan ibunya. Tak menyangka, ia meminta ayam goreng, tapi Tuhan mendatangkan satu ekor bebek untuknya. Rezeky datang di ujung hari membuat ibunya mendadak masak enak di dapur.
“Wah, adek juga suka makan bebek rupanya.” Slamet tersenyum melihat putri bungsunya menggenggam sepotong paha bebek.
“Hari ini tidak akan aku lupakan, Bu karena masakan ibu hari ini sangat istimewa membuat perutku menari-nari” ucap Lani dengan mulut penuh nasi.
Yanti dan Slamet saling berpandangan lalu melempar tawa bersama melihat binar mata yang memancarkan kebahagiaan dan mendengarkan celoteh dari anaknya yang polos.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar