Selasa, 30 Juli 2024

Dimas and The Black Cat Death (Berita Baik/Buruk)

Dimas mengucek matanya agar bisa melihat dengan jelas benda apa itu. Semakin ia kucek matanya semakin jelas apa yang dilihatnya.

"Hah, kucing itu!!!!" 

Kucing hitam yang mati dalam gang tadi?? Atau hanya mirip?? Bulu kuduknya berdiri, Dimas segera lari terbirit masuk ke dalam salah satu angkot. Ia menepuk sang supir untuk segera berangkat, beruntung memang penumpang sudah lumayan banyak membuat supir mau memberangkatkan angkotnya.

Sesampainya di gerbang sekolah, seorang lelaki paruh baya berseragam satpam berdiri dengan kedua tangan di pinggang. Wajahnya sangar menatap sembilan anak yang terlambat. Dimas berjalan hati-hati, melipir lewat tepian berusaha agar tak terlihat masuk ke dalam sekolah oleh Pak Satpam.

"Mau ke mana kamu?" Langkahnya terhenti karena seorang guru berbadan tinggi berdiri di hadapannya 

Bara tersenyum menampakkan barisan giginya. Gagal masuk, malah bertemu guru BK. Alhasil, kesepuluh anak laki-laki yang terlambat pagi ini mendapat hadiah untuk berolah raga pagi ini. 

"Lari lapangan 10 putaran!! Setelah itu kalian saya tunggu di dalam ruangan saya!" Ujar pak Bagyo, si guru BK "Pak Yono. Awasi ya!!" Beliau menepuk pundak Satpam ber name tag Yono itu lalu berjalan masuk ke dalam sekolah.

Lumayan juga olah raga pagi ini, mereka cukup berkeringat. Duduk di lantai bersandar tembok, kesepuluhnya diam mendengarkan ceramah Pak Bagyo di dalam ruangan BK. 

Dari kesepuluh itu, beberapa adalah murid langganan terlambat, Dimas salah satunya. Tak hanya terlambat, beberapa kenakalan Dimas cukup terkenal. Sekian kali kepergok merokok sepulang sekolah, tidak mengerjakan PR dan sering mengganggu siswi-siswi di kantin. Tak heran Pak Bagyo mengultimatum nya dengan keras hari ini.

"Ini peringatan terakhir buat kalian, sekali lagi saya melihat kalian terlambat dan berulah saya tidak segan-segan memanggil orang tua kalian atau memberikan surat pemberhentian sekolah." Pak Bagyo menatap barang sembari memelintir kumisnya yang lebat, "Terutama kamu Dimas!!!" Pak Bagyo beralih mengacungkan telunjuknya di depan hidung Dimas.

Anak itu hanya menunduk tanpa bereaksi. Telinganya kebal akan ocehan dan omelan. Saat Pak Bagyo sedang melanjutkan ceramahnya, pintu ruangan terbuka. Dua orang guru masuk memandangi kesepuluh murid kelas dua itu.

"Saya punya hukuman yang lebih asyik untuk mereka pak Bagyo, " Ujar Pak Yosi, seorang guru Agama.

"Apa itu pak?" Tanya pak Bagyo menanggapi.

"Ini, saya baru saja dapat surat dari Kwartir Cabang. Akan ada perkemahan bela negara, kita diwajibkan mengirim peserta tetapi syaratnya mereka bukan anggota aktif pramuka sekolah." Pak Yosi memberikan selembar kertas putih pada pak Bagyo,

"Kebetulan sekali bukan?? Mereka ini bukan anak-anak ekskul Pramuka. Kita kirim mereka saja untuk kemah, biar mereka ngerasain rasanya senang-senang." Pak Yosi tertawa.

"Tapi pak, memang nggak apa-apa kita kirim anak-anak bandel ini?" Pak Bagyo tidak yakin dengan ide itu.

"Oh tenang Pak, justru ide ide bagus karena mereka akan dapat pendidikan Bela Negara. Biar otak mereka sadar pentingnya jadi anak sekolahan yang baik!!" Pak Yosi menatap wajah mereka satu persatu, "Dan lagi, yang akan melatih mental mereka di sana semua adalah anggota TNI, sudah pasti bisa dibayangkan betapa disiplinnya kemah itu buat mereka kan? Hahahaha." 

Kesepuluh anak di dalam ruangan sontak mengangkat kepala mereka semua dengan mata membelalak ke arah Pak Yosi.

"Kemah dengan TNI???!!!!!!" Batin Dimas terkejut, ini seperti petir baginya.


Bersambung.....


(Akankah Perkemahan Bela Negara nanti akan bisa merubah sikap Dimas dan teman-temannya?? Nantikan episode selanjutnya....)





Senin, 08 Juli 2024

Tak Ada Ayam Bebek pun Jadi

 Tak Ada Ayam, Bebek Pun Jadi

Karya: Widya Dhian


Pagi-pagi Slamet mengeluarkan sepeda ontelnya lalu menyenderkan di tiang bambu teras rumah. Bukan teras seperti yang dibayangkan dengan keramik dan dinding tembok, melainkan hanya dinding bambu dengan tanah sebagai alasnya. 

“Sarapan dulu pak.” Kata Yanti, istrinya yang sedang menata tempe goreng yang baru matang di atas piring.

“Masakan istriku memang paling enak.” Selesai menhabiskan makanannya Slamet berdiri memakai jaket dan topinya, bersiap untuk berangkat.

Slamet mencium pucuk kepala sang istri dan menerima salim dari wanita berdaster merah itu.  Slamet meminta ijin padanya untuk mencari nafkah hari ini seraya berdoa semoga hari ini banyak yang mencari jasanya menge-sol sepatu.

Ya, Slamet adalah tukang sol sepatu yang selalu mangkal di pasar induk. Pagi-pagi sekali sebelum anak-anaknya terbangun, dia berangkat ke pasar untuk membantu mobil-mobil sayur menurunkan dagangannya. Setelah menawarkan bantuan tenaganya, Slamet akan mendapatkan upah dari para juragan sayur itu. Barulah setelah matahari mulai naik dan pasar semakin ramai, Slamet duduk di singgasananya. Di pojok luar gedung dekat dengan toilet ia menata kotak berisi peralatan solnya.

Di rumah, Yanti merawat dua anak perempuan mereka yang masih kecil. Satu berumur 8 tahun, satu lagi berumur 2 tahun. Yanti, hanya mengurus rumah tangga dan kebun kecil di samping rumah yang berisi cabai dan sedikit sayuran hasil ia menanam sendiri.

Pagi ini, Yanti memasak tempe goreng dan tumis kangkung. Seperti biasa, hanya 2 macam kudapan di atas meja. Satu lauk dan satu sayur itupun kalau tidak tahu ya tempe, selang seling saja setiap hari. Pendapatan Slamet sebagai tukang sol hanya cukup untuk itu.

“Bu, kapan ibu masak ayam goreng? Boleh nggak nanti sore aku makan ayam goreng?” Tanya Lina, anak pertama Yanti yang sudah pandai bicara menyelesaikan sarapannya pagi ini.

Mereka memang jarang sekali makan ayam, telur, atau bahkan daging. Harga bahan makanan itu terlalu mahal bagi mereka. Makan ayam atau telur mereka rasakan hanya saat ada kendurian. Biasanya Slamet akan membawa besek berisi nasi lengkap dengan lauk pauknya yang biasanya berisi ayam atau telur. 

Yanti tersenyum berlutut di hadapan anaknya, merapikan seragam sekolah lalu mencium keningnya. Ia menggandeng Lina sampai halaman rumah. Tangannya melambai mengantarkan anaknya berangkat sekolah pagi ini.

Tinggalah Yanti berdua dengan si bungsu. Kalau sudah mandi dan sarapan, si bungsu akan bermain di samping rumah atau ikut Yanti membersihkan kebun.

Pukul 11 Lina sudah pulang dari sekolah. Ucapan salamnya terdengar hingga ke kebun tempat di mana Yanti dan si bungsu berada. 

Yanti selesai dengan pekerjaannya, ia masuk ke rumah dengan membawa beberapa buah cabai, tomat, dan daun singkong.

“Lina shalat Dzuhur dulu lalu kita makan yah!” Yanti menuntun si bungsu ikut masuk ke dalam rumah.

“Apa ayam gorengnya sudah ada bu?” Mata Lina berbinar.

“Belum sayang, tunggu bapak pulang nanti malam yah. Bapak akan dapat uang , baru besok pagi ibu beli ayamnya.” Sungguh tak tega rasanya Yanti melihat perubahan ekspresi Lina dari sumringah menjadi datar.

“Nggak apa-apa bu, tempe juga enak.” Sekuat tenaga Lina menahan matanya yang sebenarnya sedih karena ingin sekali makan ayam goreng.

Melihat keinginan yang kuat dari anak sulungnya, Yanti merasa tak tega. Ia masuk ke dalam kamar, membuka kaleng bekas biskuit yang berisi beberapa recehan yang sengaja ia kumpulkan. 

Yanti mengambil beberapa ribu, lalu mengajak kedua anaknya ke warung tempat biasa ia berbelanja sayur barang kali masih ada daging ayam yang tersisa barang sepotong dua potong.

“Sudah mau sore begini ya sudah habis Bu Yanti, besok pagi baru ada lagi.” Jawab si pemilik warung membuat senyum Lina mendadak hilang.

“Ya sudah Bu, tidak apa-apa. Besok saya pesan seperempat kilo saja ya Bu, tolong disisihkan.” Yanti dan anak-anaknya kembali pulang ke rumah.

“Nggak apa-apa kok bu kalau kita nggak makan ayam goreng. Tempe juga enak dan bergizi kan?” Ucap Lina dalam perjalanan pulang mencoba menghibur ibunya.

Tak berapa lama, Sepeda Slamet terlihat memasuki halaman rumah saat Yanti dan kedua anaknya sedang bersantai di depan rumah. Slamet terlihat membawa karung berisi sesuatu yang bergerak-gerak.

“Assalamu’alaikum Bu,” Slamet meletakkan karung itu di atas tanah lalu menerima salim dari istri dan kedua anaknya.

Tak lupa Slamet menciumi pipi kedua putri cantiknya yang sudah wangi bedak bayi.

“Bawa apa itu pak? kok gerak-gerak?” Tanya Yanti penasaran, matanya sedari tadi melihat karung yang tak bisa diam.

“Oh,itu bebek Bu.” Slamet melepas topinya duduk di risban bambu sebelah sang istri.

Slamet berdiri mengambil kurungan ayam yang sudah lama tak dipakai karena dulu sempat memelihara ayam. Slamet lalu membuka karung itu. Ia mengeluarkan seekor bebek coklat lumayan besar, kemudian masukkan bebek itu dalam kurungan.

“Tadi di pasar ada orang bawa beberapa sepatu sekolah milik anaknya untuk di sol, tapi dia tidak punya uang untuk membayar karena kecopetan. Bapak merasa kasihan padanya. Dia hanya bawa dua ekor bebek. Lalu orang itu bertanya apa boleh bayar pake bebek? Bapak bilang tidak usah, bapak ikhlas menolong. Eh, orangnya maksa bapak buat terima satu bebeknya sebagai ganti jasa sol sepatunya.” 

Yanti terus memandangi bebek itu, “Ini mau bapak pelihara?” tanya Yanti

“Ya disembelih juga boleh.” Kata-kata Slamet tiba-tiba membuat Yanti tersenyum lebar, sebuah ide bersarang di kepalanya.

“Lina sayang, hari ini kita dapat rejeki. Lina nggak bisa makan ayam goreng, sebagai gantinya kita akan makan bebek goreng.” Dengan wajah ceria Yanti bicara pada anak sulungnya.

“Asyiik.” Lina bersorak penuh semangat.

“Pak, bebeknya tolong sembelih sekarang juga! Malam ini ibu pastikan kita makan wuenak.!” Yanti memerintah suaminya untuk segera memotong bebek itu.

“Hore….” Slamet dan Lina kompak melompat kegirangan.

Sore itu juga Slamet menyembelih bebek dan membersihkan bulunya di luar, sedangkan Yanti menyiapkan bumbu ungkepnya. Ada cabai, tomat dan daun singkong hasil berkebun tadi siang, pas sekali jika dibikin sambal lalapan. Selagi kedua orang tuanya memasak di dapur Lina dengan senang hati mengajak sang adik bermain bersama. Sesekali ia akan melihat ke dapur yang masih memakai tungku itu karena tergoda aroma gurih dari ungkepan bebek buatan ibunya.

Tiba-tiba Yanti terdiam di depan tungku memikirkan sesuatu.

“Kenapa Bu? Kok bebeknya nggak di goreng? Sudah mau Maghrib, keburu cacing diperut bapak bernyanyi.” Kata Slamet mengelus perutnya yang mulai lapar.

“Ibu lupa, kita nggak punya minyak goreng. Tinggal sedikit sekali mana cukup  untuk goreng bebek.”

“Kalau gitu jadi bebek bakar saja, ada bara api kan? Ini di meja makan masih ada kecap.”

“Oiya betul pak, Alhamdulillah. Bebek bakar.”

Setelah menerima ide dari Slamet, Yanti melanjutkan melumuri ungkepan bebek dengan kecap lalu memanggang di atas bara api tungkunya. Sesekali ia akan mengoles ulang daging bebek dengan kecap. Sembari menunggu, dia bisa sambil membuat sambal tomat. Cabai, bawang merah, bawang putih, tomat, dan sedikit terasi ia ulek di atas cobek. Setelah halus ia memanaskan sedikit sisa minyak bekas goreng tempe tadi pagi lalu menyiramkan ke atas sambal hingga berbunyi nyaring “sreeng,” 

Aromanya menyebar ke seluruh ruangan rumah. Tak berapa lama bebek bakar matang, siap disajikan di atas tikar tempat mereka makan bersama dengan duduk bersila.

Lina sangat bahagia malam ini, selesai shalat maghrib Mereka makan malam mewah berlauk bebek bakar yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

“Enak banget Bu, ini lebih enak dari ayam goreng. Masakan ibu malam ini luar biasa. Lina minta ayam goreng tapi dikasih bebek bakar super lezat.” Lina begitu lahap menyantap.

“Tak ada ayam bebekpun jadi. Hahahaha.” Ucap Slamet sambil menyuap nasi dengan tangannya ke dalam mulut.

Berkali-kali Lina mengucapkan terimakasih kepada bapak dan ibunya. Tak menyangka, ia meminta ayam goreng, tapi Tuhan mendatangkan satu ekor bebek untuknya. Rezeky datang di ujung hari membuat ibunya mendadak masak enak di dapur. 

“Wah, adek juga suka makan bebek rupanya.” Slamet tersenyum melihat putri bungsunya menggenggam sepotong paha bebek.

“Hari ini tidak akan aku lupakan, Bu karena masakan ibu hari ini sangat istimewa membuat perutku menari-nari” ucap Lani dengan mulut penuh nasi.

Yanti dan Slamet saling berpandangan lalu melempar tawa bersama melihat binar mata yang memancarkan kebahagiaan dan mendengarkan celoteh dari anaknya yang polos.

***


Cinta Dalam Secangkir Kopi

Aku hampir tak mengenalinya jika dia memperlihatkan senyuman dengan kerlingan matanya yang khas.  Aku berdiri mematung, saat seorang laki-la...